DENPASAR, KOMPAS.com – Pulau Bali kini tercatat sebagai pulau terpadat kedua di dunia setelah Pulau Jawa, berdasarkan data yang dirilis oleh Visual Capitalist.
Dengan luas wilayah mencapai 5.780 kilometer persegi, Bali dihuni sekitar 4,2 juta penduduk.
Kepadatannya mencapai 731 jiwa per kilometer persegi.
Angka ini menunjukkan tekanan tinggi terhadap ruang hidup, infrastruktur, dan kualitas lingkungan.
Kepadatan tersebut dipengaruhi oleh beragam faktor sosial, ekonomi, hingga geografis.
Baca juga: Gibran Harap Wisatawan di Bali Meningkat: Jangan Kalah dengan Negara Lain
Dalam jangka panjang, kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi warga lokal, terutama dalam mempertahankan ruang hidup dan akses atas tanah.
Wahyuni (41), warga Denpasar yang aktif dalam kegiatan sosial, mengaku mulai merasa terdesak di tanah kelahirannya sendiri.
“Kepadatan penduduk di Bali ini menjadi tantangan besar bagi saya yang merupakan salah satu krama desa yang seharusnya merasa nyaman di lingkungan sendiri,” ungkapnya, Jumat (4/7/2025).
Ia menuturkan, pada dekade 1990-an hanya warga dari arah barat, yakni Pulau Jawa, yang datang ke Bali untuk bekerja.
Namun kini, warga dari wilayah timur Indonesia juga turut berdatangan, baik untuk belajar maupun mencari kerja.
Baca juga: Kapal Tenggelam di Selat Bali, ABK Ceritakan Detik-detik Melompat ke Laut
Wahyuni menyebut, banyak masyarakat lokal justru memilih bekerja ke luar negeri. Sementara lahan kebun, cengkeh, dan kopi di Bali kekurangan tenaga pemetik, sehingga mengandalkan pekerja dari luar.
“Lalu siapa yang mengambil peran untuk menjadi pemetik? Karena ada kekosongan itu lah, akhirnya mengandalkan orang luar,” ujarnya.
Bahkan, menurutnya, sebagian pendatang yang awalnya hanya ingin bekerja akhirnya menetap dan membawa keluarga mereka ke Bali.
Fenomena ini, lanjut Wahyuni, paling terasa pada kemacetan yang semakin parah.
“Terasa sekali jika di hari raya, tiba-tiba begitu lengang. Tapi jika di hari biasa, ada spot yang benar-benar tidak mengenal waktu untuk menyuguhkan pengalaman kemacetan,” ujarnya.
Baca juga: Kemenhub: Bandara Bali Utara Belum Punya Lokasi Resmi
Kepadatan penduduk juga berdampak pada alih fungsi lahan secara masif. Ia menyebut kawasan Ida Bagus Mantra sebagai salah satu contoh, di mana sisi kiri dan kanan jalan sudah mulai dikembangkan menjadi kawasan komersial.
“Banyak ruang hijau yang harus dikorbankan. Saat ini juga dengan datangnya semeton dari Rusia yang menguasai Bali dan memboyong semua rekanannya ke sini. Dan tentunya kamipun semakin tidak mampu membeli seiris tanah yang dulu kami impi-impikan,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia menyoroti bahwa masih banyak sisi Bali yang mengalami kemiskinan dan kelaparan, namun luput dari perhatian publik.
“Begitu pun Bali yang di beberapa sudut mengalami kelaparan dan penderitaan tidak disorot. Bahkan ditutupi oleh pemerintah sehingga kami begitu sejahtera dan nampak bahagia,” imbuhnya.
Senada dengan itu, Febriyanti, warga di kawasan Wibisana Barat – Gunung Agung, Denpasar, mengaku menghadapi kondisi serupa.
“Sering macet, padat dan ramai,” ujarnya singkat.