DPR Pertanyakan Co-Payment OJK: Ada Apa di Balik Aturan Baru Ini?

Ade Banteng

Rancak Media – , Jakarta – Kebijakan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan skema pembagian risiko atau co-payment untuk produk asuransi kesehatan mulai 1 Januari 2026, kini menjadi sorotan utama. Aturan ini, yang mengharuskan peserta asuransi menanggung 10 persen dari biaya berobat, memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan, termasuk di parlemen.

Menyikapi hal tersebut, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mukhamad Misbakhun, menegaskan akan segera membahas regulasi ini di internal pimpinan komisinya. Politikus Partai Golkar itu mengungkapkan bahwa rapat tersebut diagendakan pada masa sidang depan dan bertujuan untuk menggali lebih dalam dasar argumentasi serta alasan OJK di balik penerbitan peraturan co-payment ini. Pernyataan Misbakhun disampaikan kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Sabtu, 7 Juni 2025.

Detail skema co-payment ini tertuang jelas dalam Surat Edaran OJK Nomor 7 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Berdasarkan ketentuan ini, pemegang polis wajib menanggung setidaknya 10 persen dari total pengajuan klaim. OJK menetapkan batas maksimum tanggungan Rp300.000 untuk rawat jalan per pengajuan klaim, sementara untuk rawat inap, batas maksimumnya mencapai Rp3.000.000 per pengajuan klaim.

Namun, aturan ini segera menuai gelombang kritik dari berbagai pihak, khususnya lembaga-lembaga konsumen. Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menjadi salah satu yang paling vokal. Ketua FKBI, Tulus Abadi, menyatakan dengan tegas bahwa regulasi ini ‘mereduksi hak konsumen sebagai pemegang polis asuransi’. Tulus juga menduga OJK tidak melibatkan lembaga konsumen saat proses penerbitan aturan tersebut. Ia khawatir kebijakan ini justru akan mengurangi minat masyarakat untuk mengikuti program asuransi, terlebih dengan citra industri asuransi yang tengah menurun akibat kasus-kasus besar seperti gagal bayar dan dugaan korupsi.

Kritik serupa juga dilayangkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut Sekretaris Eksekutif YLKI, Rio Priambodo, seharusnya peserta asuransi dijamin 100 persen oleh perusahaan sebagai bentuk pertanggungan penuh kepada konsumen. Rio menekankan bahwa pertanggungan ini sejatinya merupakan risiko yang telah menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi. Ia mengungkapkan kekecewaannya karena konsumen dihadapkan pada perubahan yang ‘tidak menguntungkan dan cenderung merugikan’ di tengah jalan. Oleh karena itu, YLKI mendesak OJK untuk segera mengkaji ulang aturan co-payment ini.

Menanggapi berbagai masukan dan kritik, Pelaksana tugas Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, Ismail Riyadi, memberikan penjelasan. Ia memaparkan bahwa Surat Edaran OJK tersebut diterbitkan dengan mempertimbangkan tren inflasi medis yang terus meningkat secara global. Ismail menegaskan bahwa melalui ketentuan ini, OJK berupaya ‘mendorong efisiensi pembiayaan layanan kesehatan jangka panjang’.

Lebih lanjut, Ismail menjelaskan bahwa skema co-payment juga bertujuan untuk mendorong pemanfaatan layanan medis dan layanan obat yang lebih berkualitas. Ia menambahkan bahwa kebijakan ini diharapkan akan berdampak positif pada premi asuransi kesehatan yang lebih terjangkau atau ‘affordable’, karena potensi peningkatan premi dapat dimitigasi dengan lebih baik. Berdasarkan pengalaman di berbagai negara, OJK mencatat bahwa skema co-payment dapat meningkatkan kesadaran peserta dalam memanfaatkan layanan medis yang ditawarkan fasilitas kesehatan secara lebih bijak.

Pilihan Editor: Dari Pinjol ke Pindar, Bisakah OJK Mencegah Fraud di Industri Peer-to-Peer Lending?

Ringkasan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan kebijakan baru per 1 Januari 2026 yang mewajibkan skema co-payment untuk produk asuransi kesehatan. Aturan ini, yang termuat dalam Surat Edaran OJK Nomor 7 tahun 2025, mengharuskan pemegang polis menanggung setidaknya 10 persen dari total klaim, dengan batas maksimum tanggungan Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3.000.000 untuk rawat inap. Kebijakan ini segera menjadi sorotan DPR, yang akan mendalami dasar argumentasinya, serta menuai kritik tajam dari lembaga konsumen seperti FKBI dan YLKI, yang menilai aturan ini merugikan konsumen dan mendesak OJK untuk mengkaji ulang.

OJK menjelaskan bahwa kebijakan co-payment ini diterbitkan untuk merespons tren inflasi medis global dan mendorong efisiensi pembiayaan layanan kesehatan jangka panjang. Langkah ini juga bertujuan untuk mendorong pemanfaatan layanan medis yang lebih berkualitas serta menjaga premi asuransi kesehatan tetap terjangkau. OJK meyakini skema ini dapat meningkatkan kesadaran peserta dalam memanfaatkan layanan medis secara lebih bijak, berdasarkan pengalaman di berbagai negara.

Baca Juga

Bagikan:

Tags