Pegiat konservasi lingkungan tak lagi dilihat sebagai kegiatan sukarela, melainkan aktivitas berbasis insentif. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 2 Tahun 2025 tentang Pengembangan Sistem Pengembangan Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup (PJLH), yang rilis pada April 2025.
Peraturan tersebut merupakan turunan dari Pasal 48 ayat 5 PP Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Dengan demikian, masyarakat lokal, petani hutan, komunitas adat,atau pihak lain yang selama ini berjasa menjaga lingkungan berhak atas kompensasi secara sah dan terukur, berdasarkan hasil kerjanya.
“Masyarakat adat, petani hutan, serta komunitas penjaga alam yang selama ini bekerja tanpa pamrih kini dapat menerima kompensasi berdasarkan hasil kerja mereka menjaga ekosistem” kata Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dalam keterangan tertulis seperti ditulis pada Jumat (11/7).
Kementerian LH/BPLH juga menilai sistem ini dapat membuka kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil dalam menciptakan ekosistem ekonomi berkelanjutan. Peraturan menteri tersebut tak hanya dilihat sebagai skema pembayaran, namun juga pengakuan atas jasa pegiat konservasi.
Dana PJLH rencananya dapat berasal dari APBN, APBD, corporate social responsibility (CSR), atau donasi sah lainnya. Sistem informasi nasional PJLH akan dikembangkan untuk memastikantransparansi dan akuntabilitas.
Hanif mengatakan, sebelum ada aturan ini, praktik PJLH telah dilakukan oleh beberapa pihak, salah satunya PT Tirta Investama (Danone-AQUA) di Klaten, Jawa Tengah. Mereka mengembangkan Padepokan Konservasi Ekologi Masyarakat (PAKEM) dengan skema pembayaran untuk pembekalan masyarakat soal teknologi konservasi, legalitas, dan pelatihan.
Program ini berhasil mengurangi emisi karbon hingga 17.919ton CO2 dalam setahun. Di samping itu, masyarakat juga mendapatkan kembali kedaulatan atas sumber airnya.
Contoh lainnya di Cidanau, Banten, di mana petani menerima US$125 atau sekitar Rp2 juta (kurs Rp16.210/us$) per hektare dari perusahaan air minum, karena menjaga hutan hulu. Meskipun begitu, sebanyak 71% petani memang sudah menjaga sebelum pembayaran dilakukan.
Hal serupa juga terjadi di Sumberjaya, Lampung, saat hak kelola selama 25 tahun diberikan kepada petani yang menerapkan praktik konservasi dan sedimentasi sungai menurun drastis.
Arah kebijakan PJLH tidak dirancang sebagai proyek temporer, tapi sebagai sistem nasional yang mengintegrasikan konservasi ke dalam perencanaan pembangunan.
“Siapa yang menjaga, harus kita jaga. Siapa yang melindungi alam, harus kita lindungi, Karena menjaga alam adalah menjaga masa depan kita bersama,” kata Menteri Hanif.