Monorel Mangkrak: Kisah Tragis, Kerugian Negara, dan Harapan Baru?

Ade Banteng

Rancak Media, Jakarta – Setelah bertahun-tahun menjadi simbol kemacetan dan ketidakjelasan, tiang-tiang monorel mangkrak di Ibu Kota kini menjadi fokus perhatian. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo secara tegas meminta PT Adhi Karya Tbk untuk segera membongkar struktur-struktur tersebut. Penertiban ini bukan hanya untuk tiang monorel, tetapi juga bagian dari upaya lebih luas Pemprov DKI menertibkan lokasi pekerjaan lapangan yang tidak aktif, seperti galian kabel dan proyek sumber daya air, demi mengurangi dampak pada kemacetan lalu lintas Jakarta.

Permintaan pembongkaran tiang monorel ini didasari pada putusan pengadilan negeri serta arahan dari Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, yang menegaskan bahwa kewajiban pembongkaran berada di tangan Adhi Karya. Informasi ini, seperti dilansir Antara pada 10 Juni 2025, menjadi landasan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera melayangkan surat resmi kepada Adhi Karya, mendesak pelaksanaan pembongkaran.

Gubernur Pramono Anung Wibowo menegaskan, jika dalam perkembangannya Adhi Karya menyatakan tidak sanggup melaksanakan pembongkaran, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak akan berdiam diri. “Kalau kemudian Adhi Karya katakanlah tidak mampu, maka Pemerintah Jakarta akan melakukan tindakan untuk membersihkan,” ujar Pramono, menunjukkan komitmen Pemprov untuk menuntaskan masalah proyek mangkrak ini.

Untuk memahami akar permasalahan tiang monorel yang telah lama menjadi pemandangan kota, penting untuk melihat kembali sejarah panjang proyek ini.

Awal Mula Proyek Monorel

Sejarah tiang monorel mangkrak ini bermula pada tahun 2004, kala itu semangat modernisasi transportasi di Jakarta mendorong gagasan pembangunan monorel. Konsorsium PT Jakarta Monorail dan Omnico Singapura dipercaya sebagai pelaksana proyek yang diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Pembangunan fisik kemudian dimulai pada era Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, dengan rencana jalur awal sepanjang lima kilometer dari Casablanca hingga Karet, dilengkapi 14 titik pemberhentian. Namun, harapan akan transportasi modern itu tak bertahan lama. Baru setahun berjalan, pada 2005, pembangunan mulai tersendat, ditandai dengan terhentinya uji beban fondasi di jalur Asia Afrika akibat kendala pendanaan.

Kegagalan PT Jakarta Monorail dalam memperoleh modal tambahan menjadi pemicu utama, terutama karena pemerintah tidak berpartisipasi dalam investasi. Dari total nilai proyek sekitar US$670 juta, mayoritas atau sekitar US$470 juta, bergantung pada pinjaman luar negeri. Kondisi ini membuat proyek monorel resmi mandek pada tahun 2007. Gubernur DKI saat itu, Fauzi Bowo, akhirnya menghentikan secara total pembangunan yang tak kunjung menemui kejelasan lanjutan.

Upaya menghidupkan kembali proyek monorel muncul pada tahun 2013 di bawah kepemimpinan Gubernur Joko Widodo, dengan nama baru Jakarta Eco Transport (JET). Namun, inisiatif tersebut pun bernasib sama dan kembali dihentikan pada tahun 2015 oleh penggantinya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Penghentian final ini disebabkan oleh ketidakmampuan kontraktor memenuhi 15 syarat krusial yang ditetapkan Pemprov DKI, di mana tak satu pun berhasil dipenuhi.

Dalam kronologi panjang ini, Adhi Karya tercatat telah mengerjakan pembangunan 90 tiang beton sejak 2007. Tiang-tiang monorel mangkrak ini tersebar di sepanjang Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia Afrika, Jakarta Pusat. Selama hampir dua dekade, keberadaan mereka tidak hanya mengganggu estetika kota, tetapi juga secara signifikan memperburuk kemacetan Jakarta, tanpa ada penanganan tuntas yang konkret.

Menyikapi desakan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Adhi Karya menunjukkan sikap kooperatif. Melalui keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat, 13 Juni 2025, Corporate Secretary Adhi Karya, Rozi Sparta, menyatakan bahwa perseroan “terbuka untuk berdiskusi” mengenai nasib tiang-tiang monorel mangkrak. Pihaknya menegaskan kesiapan untuk berkoordinasi dengan semua pihak terkait guna mencari solusi terbaik.

“Perseroan mengapresiasi komunikasi yang akan dibangun oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan terbuka untuk berkoordinasi lebih lanjut guna menyelesaikan permasalahan ini secara konstruktif dan sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar Rozi Sparta. Ia menambahkan bahwa Adhi Karya sepenuhnya mendukung langkah strategis Pemprov DKI Jakarta dalam penataan ruang kota demi kepentingan publik. Meskipun belum ada kepastian mengenai jadwal pembongkaran, sikap terbuka dari Adhi Karya ini menandai langkah awal yang positif menuju penyelesaian konkret atas masalah proyek monorel yang telah lama mengganggu citra dan kelancaran Jakarta.

Annisa Febiola turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Mengapa Usul Kenaikan Pajak Rumah Tapak Menuai Kritik?

Ringkasan

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo meminta PT Adhi Karya Tbk untuk segera membongkar tiang-tiang monorel mangkrak, sebagai bagian upaya Pemprov menertibkan lokasi pekerjaan tak aktif dan mengurangi kemacetan. Permintaan ini didasari putusan pengadilan yang menegaskan kewajiban pembongkaran ada pada Adhi Karya. Pemprov DKI menyatakan akan bertindak membersihkan jika Adhi Karya tidak mampu melaksanakannya. Adhi Karya menunjukkan sikap kooperatif dan terbuka untuk berkoordinasi dengan Pemprov DKI demi mencari solusi terbaik.

Proyek monorel ini dimulai tahun 2004 di era Presiden Megawati dan Gubernur Sutiyoso, namun terhenti pada 2005 karena kendala pendanaan. Pembangunan dihentikan total pada 2007 dan upaya menghidupkannya kembali pada 2013 juga gagal, dihentikan final pada 2015. Sebanyak 90 tiang beton yang dibangun Adhi Karya sejak 2007 kini menjadi penyebab gangguan estetika kota dan memperburuk kemacetan Jakarta.

Baca Juga

Bagikan:

Tags