Pada Minggu siang, 29 Juni 2025, suasana di sekitar Kawah Ratu, kawah utama Taman Wisata Alam (TWA) Tangkuban Parahu, diselimuti kabut tebal. Meskipun gerimis sesekali membasahi, bentangan warna putih yang pekat tak kunjung sirna, menghalangi pandangan keindahan kawah gunung di Subang, Jawa Barat, yang biasanya memukau.
Hampir tiga jam berlalu, namun pemandangan kawah berbentuk mangkuk raksasa itu tak juga menampakkan diri. Keadaan ini tentu saja menimbulkan kekecewaan mendalam bagi puluhan pengunjung, termasuk saya pribadi, yang telah menempuh perjalanan jauh demi menyaksikan keunikan kawah legendaris Gunung Tangkuban Parahu.
Pikiran pun berkelana, mempertanyakan makna kunjungan jauh dari Jakarta ke lokasi yang erat kaitannya dengan legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi ini. Apakah perjalanan ini hanya berujung pada kenikmatan sebatas pisang goreng, jagung bakar, mi instan hangat, atau sekadar membeli oleh-oleh seperti serbuk belerang, stroberi, gelang, dan kalung batu?
Di tengah kekecewaan yang mulai mereda, pandangan saya tiba-tiba tertuju pada sebuah tanaman unik yang tumbuh di bibir kawah, bentuknya menyerupai bonzai. Daun mudanya berwarna kemerahan dan batangnya tampak keras. Kebetulan, seorang pedagang cendera mata berada tidak jauh dari tempat saya berdiri. “Pak, ini pohon apa?” tanya saya penasaran kepadanya.
“Ini pohon Manarasa. Pucuk atau daun mudanya bisa dimakan,” jawab pedagang itu ramah, sembari memetik beberapa pucuk daun dan mempersilakan saya mencobanya. Melihat keraguan di wajah saya, ia kembali memetik pucuk Manarasa dan memakannya sendiri, sebelum kemudian menawarkan kembali kepada saya. Pucuk daun itu memang mirip dengan tanaman hias Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium). Saya pun memberanikan diri mencicipinya. Rasanya sungguh segar, dengan sentuhan sepat dan sedikit asam yang unik, terasa sangat cocok sebagai lalapan.
Melihat antusiasme saya, pedagang itu kembali mempersilakan untuk memetik pucuk Manarasa. Ia menambahkan, “Kita boleh memetik daunnya, namun tidak diperbolehkan merusak apalagi mengambil pohonnya. Ini adalah kawasan yang dilindungi.”
Manarasa, yang juga dikenal sebagai Cantigi Gunung (Vaccinium varingiaefolium) atau Manis Rejo dalam bahasa Jawa, adalah salah satu kekayaan flora Indonesia. Tanaman ini ternyata masih berkerabat dekat dengan keluarga buah beri populer seperti bilberry, huckelberry, blueberry, dan cranberry. Manarasa tumbuh secara alami di kawasan pegunungan tinggi, biasanya di ketinggian di atas 1000 meter di atas permukaan laut.
Tak disangka, mencicipi pucuk Manarasa yang segar ini ternyata mampu memupus kekecewaan saya akibat tidak dapat menyaksikan keindahan kawah Gunung Tangkuban Parahu yang tertutup kabut. Lebih dari itu, pengalaman ini justru menumbuhkan keinginan kuat untuk kembali mengunjungi gunung ini, bukan hanya untuk kawahnya, tetapi juga demi merasakan kembali sensasi daun yang konon dipercaya memiliki khasiat membuat Dayang Sumbi awet muda.
Ringkasan
Pada 29 Juni 2025, pengunjung di Kawah Ratu, Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu, menghadapi kabut tebal yang menutupi pemandangan kawah selama hampir tiga jam. Situasi ini menimbulkan kekecewaan mendalam bagi mereka yang telah menempuh perjalanan jauh.
Di tengah kekecewaan, sebuah tanaman unik bernama Manarasa, atau Cantigi Gunung (Vaccinium varingiaefolium), ditemukan tumbuh di bibir kawah. Pucuk daun mudanya dapat dimakan, menawarkan rasa segar, sepat, dan sedikit asam. Pengalaman mencicipi Manarasa ini berhasil menghilangkan kekecewaan dan memicu keinginan untuk kembali mengunjungi gunung tersebut.