Di artikel sebelumnya, saya sudah menuliskan bahwa Trip di Singapura yang dilaksanakan tanggal 28 Juni 2025 gagal karena pesawat delay sehingga kami sampai di sana malam hari. Pukul 21.00 kami mampir ke imigrasi untuk pemeriksaan keluar dari negara tersebut, dan kemudian menuju imigrasi Malaysia.
Setelah urusan imigrasi selesai, bus membawa kami ke kota Johor menuju penginapan. Pukul 23.00 kami baru sampai di hotel untuk istirahat melepaskan lelah, supaya badan terasa fit saat melakukan kunjungan ke beberapa tempat wisata yang ada di Malaysia ini
Trip Hari Pertama di Malaysia, Berkunjung ke Malaka dan Putrajaya
Setelah sarapan pagi, pukul 08.00 kami keluar dari hotel dengan membawa seluruh barang bawaan. Objek wisata pertama yang akan dikunjungi adalah kota Malaka, merupakan kota bersejarah yang menjadi Warisan Dunia Unesco. Selama tour di Malaysia, kami didampingi oleh tour leader yang dipanggil dengan sebutan Pak Cik Adam.
Waktu tempuh dari Johor ke Malaka sekitar 2 jam bila tidak macet, selama perjalanan Pak Cik Adam memberikan informasi tempat-tempat yang kami lewati antara lain Zoo Malaka, Taman Mini Malaysia dan ASEAN, Makam Tun Teja serta Pabrik Mamee dan Taman Buaya.
Setelah sampai, kami diajak jalan kaki menuju kawasan Pecinan yang dikenal dengan sebutan Jonker Walk. Tempat pertama yang dikunjungi adalah kuil tertua di Malaysia yaitu Cheng Hoon Teng Temple, yang didirikan pada awal abad ke-17
Di dalam bangunan utama kuil terlihat ada beberapa pengunjung yang sedang bersembahyang, kami hanya melihat-lihat di luar. Kuil ini menjadi tempat ibadah bagi tiga aliran agama, yaitu Taoisme, Buddha, dan Confusianisme. Kata Pak Cik Adam, kalau mau masuk untuk melihat ke dalam kuil silakan tetapi bagi muslim Malaysia tidak diperkenankan untuk masuk.
Kemudian Pak Cik Adam, mengajak kami keliling ke bagian belakang, di sebuah bangunan kecil terlihat ada dua buah tandu yang biasa digunakan untuk membawa putri raja atau keluarga bangsawan zaman dulu.
Di belakang komplek utama terdapat beberapa aula khusus, di dalamnya terdapat Ancestral Tablets atau papan-papan kayu yang bertuliskan nama leluhur, gelar kehormatan, tanggal lahir serta tanggal wafat. Papan leluhur ini dipajang secara rapi dalam rak yang ditutup kaca dan digunakan untuk ritual penghormatan leluhur.
Saat ada festival seperti Ching Beng atau Qingming yang dirayakan oleh komunitas Tionghoa di Malaysia, keluarga akan membakar dupa dan kertas persembahan di depan Ancestral Tablets dalam rangka menghormati roh para leluhur.
Setelah semua peserta tour kumpul, kami diajak jalan kembali dan melewati sebuah masjid yang bernama Masjid Kampung Kling. Saya membaca sebuah tulisan yang ditempel di dinding yang menjelaskan bahwa masjid ini dibuat pada tahun 1748 oleh pedagang Muslim asal India Selatan yang bermukim di area tersebut yang dulunya bernama Kampung Kling.
Bentuk bangunannya menyerupai masjid-masjid yang ada di Sumatra dengan pengaruh Hindu yang kuat, pantas saja Pak Cik Adam menjelaskan bahwa masjid ini ada kaitan sejarah dengan orang Indonesia. Di belakang masjid terdapat kolam yang dikelilingi oleh walkway dan tiang bertingkat, menciptakan suasana yang tenang bagi pengunjung yang datang ke sini.
Di sebrang masjid terdapat sebuah kuil Hindu yang bernama Kuil Sri Poyatha Moorthi, yang merupakan kuil tertua di Malaysia dan Asia Tenggara yang dibangun pada tahun 1781 oleh pedagang India.
Karena letak antara dua kuil dan masjid yang berdekatan, kata Pak Cik Adam tempat ini suka disebut dengan Trilogi Harmoni yang melambangkan kerukunan dari umat beragama yang ada di kota Malaka ini sejak zaman dulu. Nama jalannya pun disebut jalan Harmoni.
Selanjutnya kami diajak jalan kaki lagi menuju ke Bangunan Merah yang merupakan ikon wisata kota Malaka. Sebelum sampai bangunan tersebut, kami melewati sungai Malaka yang panjangnya sekitar 10 kilometer dari muara Selat Malaka ke hulu Batu Kampar.
Pada zaman dulu yaitu abad ke-15 pada masa kesultanan Malaka, sungai ini menjadi pusat aktivitas pelabuhan dan menghubungkan pedagang dari Tiongkok, India, Arab hingga Eropa. Saat era kolonial Portugis, Belanda dan Inggris, sungai Malaka digunakan sebagai jalur transportasi dan pertahanan.
Di dekat saya berdiri ada sebuah batu prasasti yang bertuliskan “Ketibaan Laksamana Cheng Ho di Melaka pada tahun 1405”. Batu prasasti ini dibuat untuk memperingati kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Melaka dalam ekspidisi pertamanya.
Laksamana Cheng Ho merupakan seorang diplomat dan penjelajah asal Tiongkok pada masa Dinasti Ming yang memimpin armada besar untuk memperluas hubungan dagang dan diplomatik ke Asia Tenggara, India, Timur Tengah dan Afrika.
Kota Malaka dikunjungi karena menjadi salah satu pelabuhan penting bagi armada Cheng Ho dan lokasinya strategis sebagai jalur perdagangan antara Barat dan Timur. Kedatangan mereka bertujuan untuk memperkuat hubungan antara Kesulatanan Malaka dan Dinasti Ming dalam bidang politik dan ekonomi.
Selanjutnya kami menyebrangi sebuah jembatan yang ada di atas sungai untuk sampai ke Bangunan Merah. Bangunan ini merupakan peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1890 sebagai Balai Kota dan kediaman Gubernur Belanda di Malaka saat itu.
Disebut Banguan Merah karena seluruh dindingnya dicat warna merah bata, gaya arsitekturnya bergaya Belanda klasik dengan dinding tebal, jendela kayu besar berdaun ganda dan atap genteng melengkung. Di depan Bangunan Merah terdapat Jam Besar Victoria dan air mancur Queen Victoria yang dibuat pada masa penjajahan Inggris pada tahun 1904.
Kami berfoto di sekitar Bangunan Merah tersebut, kalau ingin keliling di sekitar komplek ini beca hias yang bisa disewa. Saat tanya ke Pak Cik Adam berapa harganya, katanya sekitar 40 Ringgit. Setiap beca dihias dengan lampu, dan akan terlihat indah di malam hari. Ada lagu yang diputar saat becak berkeliling mengantarkan pengunjung, dan kebanyakan lagu-lagu Indonesia sehingga terdengar akrab di telinga.
Kami selanjutnya berjalan melihat-lihat sekitarnya, ada bangunan-bangunan tua lainnya dan ada juga museum. Hingga sampailah di tempat untuk membeli oleh-oleh, sebagian ada yang masuk dan sebagian duduk-duduk di luar.
Saya dan ananda duduk-duduk di luar sambil minum dan membeli buah mangga yang dijual oleh pedagang yang ada di depan salah satu toko. Satu mangga harganya 6 Ringgit dan dikupas oleh pedagangnya, kemudian dimasukan ke dalam wadah plastik dan diberi tusukan. Ketika dimakan, rasanya manis sekali.
Tak jauh dari pusat oleh-oleh, terlihat sebuah bangunan yang menyerupai kapal yang merupakan Museum Samudera. Museum ini merupakan replika kapal Portugis Flor de le Mar atau Bunga Laut, yang mengalami karam di Selat Malaka pada tahun 1511 saat membawa rampasan dari Malaka ke Portugis. Museum ini dibangun untuk mengenang sejarah Malaka yang pernah menjadi pusat perdagangan maritim Internasional di masa lalu.
Pukul 12.00 setelah semua berkumpul, kami berjalan menuju tempat parkir bus. Cuaca di Malaka sangat panas, sehingga saat berkeliling saya memakai payung.
Kami melanjutkan perjalanan menuju tempat makan yang bernama Perhentian Kuih Kampong. Di sini kami makan nasi ayam hainan, rasanya mirip dengan nasi uduk sehingga cocok di lidah. Setelah makan, kami salat dulu di mushola yang ada di belakang tempat makan tersebut.
Perjalanan dilanjutkan menuju ke Putrajaya, sepanjang jalan terjadi kemacetan sehingga sampai di lokasi pukul 19.00 tetapi hari masih terang.
Pak Cik Adam memberi penjelasan tentang Putrajaya yang merupakan kota adminsitratif Malaysia yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan negara tersebut sejak tahun 1999. Nama Putrajaya diambil dari nama Perdana Mentri pertama Malaysia yaitu Tuanku Abdul Rahman Putra Al-Haj.
Di sini terdapat kantor kementrian, lembaga pemerintahan serta kediaman resmi Perdana Menteri. Kata Pak Cik Adam, bangunan di sini tidak ada yang sama. Sambil bus berjalan Pak Cik menyebutkan nama-nama gedung yang dilewati di sebelah kiri dan kanan kami, semuanya terlihat megah dan modern.
Kami diturunkan di dekat masjid Putra yang merupakan ikon dari kota Putrajaya yang memiliki kubah merah muda yang indah di tepi danau. Masjid ini dapat menampung 15.000 jamaah.
Saya dan ananda turun dan menuju danau yang ada di dekat masjid, pemandangannya luar biasa indah dan terlihat jembatan. Kebetulan ada Mbak Mega dari travel yang membantu untuk pengambilan foto-foto dan juga video. Ananda bertemu dengan peserta tour yang sebaya dari Cirebon dan sama-sama duduk di SMA naik kelas 11, keduanya sudah akrab dan sering ngobrol.
Tempat ini merupakan tempat favorit untuk berfoto karena latar belakangnya adalah Danau Putrajaya dan Masjid Putra. Saat senja, pemandangan langit dan sekitarnya sangatlah indah dan instagramable.
Setelah melaksanakan salat Magrib, kami semua kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan ke Kuala Lumpur. Karena hari Minggu, sepanjang jalan terjadi kemacetan sehingga pukul 23.00 kami baru sampai di hotel untuk beristirahat.
Wasana Kata
Malaysia menjadi salah satu destinasi favorit di Asia Tenggara yang menyimpan pesona sejarah, budaya dan arsitektur modern. Kota yang dikunjungi oleh kami pada hari pertama yaitu Malaka dan Putrajaya.
Berkunjung ke sini banyak hal yang didapat sehingga menambah wawasan bagi kami. Terlebih bagi ananda bisa belajar secara langsung tentang nilai-nilai sejarah dan kerukunan umat beragama yang ada di kota Malaka, serta menyaksikan Putrajaya sebagai kota yang maju dengan memiliki tata kota yang modern serta bangunan dan jembatan yang megah.
Semoga pengalaman berharga ini bisa memotivasi untuk lebih mengenal warisan budaya dan perkembangan teknologi di negara-negara lain. Terima kasih telah membaca tulisan ini, salam hangat dan bahagia selalu.
Sumber bacaan : 1, 2 dan 3
#Tulisan ke-108 di tahun 2025
Cibadak, 7 Juni 2025
Tati Ajeng Saidah untuk Kompasiana