JAKARTA, KOMPAS.com – Turis asing asal negara Eropa atau yang akrab disebut bule, cenderung memiliki kebiasaan mendaki gunung yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.
Menurut operator tur sekaligus pemandu Gunung Rinjani, Abd Haris Agam, pakaian pendaki luar negeri, khususnya bule, lebih santai dibandingkan dengan pendaki lokal.
“Di sana, bule-bule kalau naik gunung itu pakai tank top (kaus tanpa lengan) dan celana pendek. Mereka kira tidak dingin,” kata Agam dalam bincang-bincang bersama Agam Rinjani di Toraja Coffee House Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
Gaya berpakaian pendaki bule di Gunung Rinjani didasari ketidaktahuan mereka tentang kondisi puncak gunung setinggi 3.706 mdpl ini.
Pasalnya, lanjut Agam, saat berhasil tiba di puncak Rinjani, banyak pendaki bule yang kedinginan dan mencari pinjaman jaket.
Baca juga: Usai Tragedi Juliana Marins, Pendaki Rinjani Bakal Wajib Pakai Gelang RFID, Apa Itu?
“Saya biasa membawa dua jaket saat naik ke atas puncak. Saya kasih pinjam dan janjian dikembalikan di pos Plawangan,” ujar Agam.
Begitu juga dengan jenis sepatu yang dipakai pendaki asing. Bukan sepatu gunung, mayoritas pendaki bule justru memakai sepatu biasa.
“Tur operator di Rinjani menawarkan paket trekking ke bule, bukan hiking. Trekking itu paling rendah, makanya mereka (bule) pakai sepatu biasa yang buat jalan-jalan,” tambah pendiri merek perlengkapan outdoor Consina, Disyon Toba.
Sementara itu, pendaki lokal dari berbagai daerah di Indonesia, umumnya membawa peralatan lengkap, setelah mengetahui medan dan suhu Gunung Rinjani.
Beberapa peralatan mendaki yang wajib digunakan maupun dibawa adalah sepatu gunung, jaket gunung, tenda, senter kepala, selimut, serta makanan dan minuman secukupnya.
Selain pakaian seadanya, beberapa pendaki bule juga tidak membawa tenda untuk berlindung di sepanjang jalur pendakian maupun puncak Gunung Rinjani.
“Kalau hujan, center emergency yang dibangun itu selalu penuh, pernah diisi 35 orang, padahal kapasitasnya cuma empat kali tiga orang, tetapi orang kedinginan,” ungkap Agam.
Bila terjadi situasi demikian, Agam memilih pendaki yang hampir mengalami hiportemia untuk beristirahat di tenda. Terus bergantian hingga matahari pagi mulai terlihat.
Baca juga: Menhut Raja Antoni Bertemu Agam Rinjani dkk, Apa yang Dibahas?
Beda konsep mendaki di luar negeri
Lebih lanjut, perbedaan gaya mendaki bule dengan masyarakat lokal disebabkan oleh pemahaman konsep yang berbeda.
Mulai dari lokasi gunung, medan atau jalur pendakian, hingga fasilitas yang tersedia, khususnya di Gunung Rinjani.
“Saya sering tanya ke mereka, ternyata mereka kira konsep mendaki Gunung Rinjani seperti di luar negeri, semua fasilitasnya sudah tersedia,” kata Agam.
Padahal, tidak demikian. Pendaki Gunung Rinjani sebaiknya mencari tahu lebih banyak soal rute sebelum berangkat. Paling mudah, bertanya kepada pemandu atau tur operator mengenai barang yang wajib dibawa saat mendaki.
Baca juga: Tarik Ulur Donasi untuk Agam Rinjani, Sempat Dibatalkan tapi Kini Dipastikan Cair
“Jadi manajemen operator tur di Rinjani memang harus dirapikan lagi rata-rata operator tur di sana kebanyakan orang lokal, yang mungkin jarang mem-briefing sehingga tidak dapat informasi lengkap,” tambah Disyon.
Belum lagi, mayoritas bule menganggap mendaki Gunung Rinjani sebagai wisata alam biasa, alih-alih kegiatan alam yang cukup ekstrem.
“Kalau wisata gunung siapa pun bisa naik, sedangkan naik Gunung Rinjani ini butuh skill,” ungkap Disyon.
Pasalnya, jalur pendakian Gunung Rinjani dianggap menyeramkan, khususnya untuk jalur Torean dan Pelawangan.
Baca juga: Dari Gunung ke Dunia Maya: Aksi Agam Rinjani dkk Gugah Simpati Lintas Benua
“Jalur dari Pelawangan ke Danau Segara Anak itu luar biasa bahayanya. Kalau saya bilang, 80 persen jalur itu membawa kematian. Saya klaim saja supaya taman nasional tahu karena sangat tidak nyaman,” kata Disyon.
Disyon membandingkan Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan gunung di negara tetangga, yakni Malaysia.
Berdasarkan pengalamannya, tidak ada jalur pendakian Gunung Kinabalu yang sangat ekstrem seperti halnya di Gunung Rinjani.
Bila pun terdapat jalur pendakian cukup berbahaya, tersedia akses tangga kayu dengan lebar sekitar dua hingga tiga meter untuk memudahkan pendaki.
Sementara jalur pendakian Gunung Rinjani sangat sempit, padahal medannya terbilang berbahaya karena didominasi bebatuan dan apsir.
“Ya Rinjani memang bukan buat wisata, tetapi orang-orang menerimanya untuk wisata,” pungkasnya.
Bahkan, porter yang sudah terbiasa bolak-balik jalur pendakian Gunung Rinjani juga kerap kesulitan melewati jalan setapak ini.
“Porter pun sudah berapa kali jatuh di titik yang sama. Sampai hari ini, saya sudah bilang pasangkan tali di jalur itu, dibilang ‘tunggu dulu anggarannya’, ya sudah habis, jatuh lagi,” pungkas Agam.
Baca juga: Pendakian ke Puncak Gunung Rinjani Kembali Dibuka, Pengelola Ingatkan Ini