Pengalaman Jadi Relawan Kampus dan Mendaki Gunung

Ade Banteng

Beberapa hari terakhir ini banyak berita tentang pendaki asal Brazil yang meninggal saat mendaki Gunung Rinjani. Banyak yang berkomentar jika Gunung Rinjani bukanlah gunung yang bisa didaki oleh pendaki pemula.

Saya jadi teringat dengan momen pertama kali saat mendaki gunung waktu masih mahasiswa. Ceritanya, saat itu saya bergabung dengan Korps Sukarela atau disingkat KSR. KSR adalah bagian dari Palang Merah Indonesia (PMI) dan menjadi pilihan UKM di kampus tempat saya belajar.

KSR terbuka untuk mahasiswa dari berbagai jurusan. Tujuan KSR di universitas adalah untuk menjadi wadah bagi mahasiswa dalam mengembangkan keterampilan kepalangmerahan, meningkatkan rasa kemanusiaan, serta berperan aktif dalam kegiatan kemanusiaan, baik di lingkungan kampus maupun masyarakat luas.

Karena tujuannya yang mulia itu, saya tertarik untuk bergabung. Setelah mendaftar, ternyata saya dan teman-teman lainnya tidak langsung diterima jadi anggota KSR.

Saya tidak tahu bagaimana penerimaan anggota baru KSR di kampus lainnya. Tetapi di kampus saya, ada semacam penggemblengan dulu. Penggemblengan itu lebih seperti ospek.

Kami harus latihan seminggu dua kali dan harus melalui berbagai hal sebagai ujian apakah kami mempunyai ketahanan fisik dan mental yang baik. Yang paling melelahkan adalah kami harus selalu lari berkilo-kilometer keliling kampus.

Kalau jalanan di kampusnya datar-datar saja mungkin mendingan, masalahnya jalanan kampus kami berbukit-bukit. Tidak peduli panas atau hujan, kami harus selalu berlari.

Selain itu, kami juga harus latihan push-up dan squat jump banyak-banyak sampai badan gemetar. Ditambah lagi, kami harus merayap di aspal sampai siku dan lutut luka-luka, dan berbagai latihan fisik lainnya.

Sikap senior juga tidak kalah kerasnya. Mereka judes dan kurang ramah. Kalau kami ada salah, kami akan dibentak-bentak. Katanya mereka seperti itu supaya kami tidak lembek.

Hal itu menyebabkan banyak dari teman-teman yang mengundurkan diri karena tidak kuat. Saya dan beberapa teman lainnya dengan jumlah kurang dari 20 orang tetap bertahan sampai diangkat jadi anggota.

Salah satu alasan saya bertahan adalah karena di KSR kami diajari pelatihan dasar seperti pertolongan pertama, kesehatan, hingga penanggulangan bencana.

Saya selalu berkeinginan menjadi relawan dan bermimpi suatu hari bisa menjadi relawan di pulau terpencil atau Afrika juga boleh, hehe. Tapi itu kejauhan ya. Selama menjadi anggota KSR, kegiatan relawan kami hanya di dalam kampus saja.

Setelah menjadi anggota, kami mendapat beberapa tugas, seperti membantu pemeriksaan kesehatan mahasiswa baru. Kami akan mengecek tekanan darah, tes buta warna, dan pemeriksaan mudah lainnya.

Jika ada fakultas yang sedang mengadakan ospek, kami akan menjadi petugas kesehatan yang mengawasi dan membantu jika ada mahasiswa baru yang sakit. Ada berbagai pengalaman unik tentang ini. Salah satunya ketika kami menghadapi beberapa orang yang dianggap kesurupan.

Salah satu senior di salah satu fakultas tersebut mengaku punya keahlian tenaga dalam. Dia lalu mencoba menyembuhkan orang-orang yang dianggap kesurupan dengan tenaga dalamnya.

Bukannya mereda, orang-orang itu malah tambah berteriak-teriak. Dari yang kami amati sebenarnya itu bukan kesurupan. Tetapi adek-adek mahasiswa baru shock dengan ospek yang diadakan fakultas tersebut. Mungkin seniornya terlalu keras sehingga mereka merasa tertekan. Jadinya mereka stress.

Begitulah di tahun-tahun itu, ospek masih menjadi kegiatan rutin untuk menyambut mahasiswa baru.

Selain tugas-tugas tersebut, kami pun mengadakan beberapa kegiatan outdoor, seperti berkemah, arung jeram dan mendaki gunung. Untuk arung jeram, saya tidak ikut karena dilarang orang tua. Untuk mendaki gunung pun awalnya orang tua melarang, tetapi saya meyakinkan mereka agar mengizinkan saya.

Setelah dipikir-pikir, kenapa saya bisa bertahan dengan latihan keras yang diadakan KSR? Selain alasan tentang tujuan kemanusiaan, hal itu juga karena saya ingin membuktikan pada orang tua kalau saya tidak lemah dan mampu melakukan berbagai kegiatan yang cukup menantang.

Wajar jika orang tua khawatir, tetapi kekhawatiran tersebut jangan sampai membuat orang tua jadi over protektif serta menghambat anak untuk berpetualang dan melangkah keluar dari zona nyaman.

Setelah mendapat izin dari orang tua untuk mendaki gunung, saya sangat excited dengan kesempatan tersebut. Tetapi kegiatan itu tidak banyak diikuti teman-teman KSR. Hanya ada lima orang yang ikut.

Kami semua belum pernah ada yang punya pengalaman mendaki gunung. Kami meminta bantuan mahasiswa Fakultas Geologi yang sering mendaki gunung untuk menjadi guide kami.

Gunung yang kami daki pun gunung yang cocok untuk pemula dan menjadi favorit mahasiswa karena letaknya tidak terlalu jauh dari kampus. Namanya Gunung Geulis.

Gunung Geulis adalah gunung dengan ketinggian 1.281 MDPL dan termasuk ke dalam wilayah Sumedang. Kami berjalan dari kampus menuju kaki Gunung Geulis dengan riang. Kami ditantang oleh guide kami untuk berjalan menuju gunung dengan menggunakan peta kertas.

Saya tidak merasa cemas atau takut karena dalam perjalanan itu ada tiga mahasiswa Fakultas Geologi yang sudah sering bolak-balik naik turun Gunung Geulis dan keempat teman KSR saya yang lain adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran.

Yang terutama, tentu saja saya berdoa agar Allah menjaga kami untuk sampai di puncak gunung dan kembali lagi dengan selamat.

Setelah melalui hutan, kami mulai berjalan melalui trek yang sudah tersedia. Kami saling mengingatkan agar hati-hati dengan langkah kami dan waspada bila ada ular atau hal-hal yang berbahaya lainnya.

Pendakiannya cukup melelahkan, tetapi syukurlah kami terbiasa latihan lari berkilo-kilometer sehingga tidak ada yang terlalu mengeluh. Jika capek, kami akan beristirahat, lalu melanjutkan perjalanan lagi. Untunglah, trek pendakiannya juga tidak terlalu curam.

Setelah sekitar 3 jam pendakian, kami sampai di puncak gunung. Yang pertama menarik perhatian adalah di puncak Gunung Geulis ada sebuah makam. Saya tidak tahu makam siapa, tapi terbayang butuh effort yang besar untuk memakamkan seseorang di puncak gunung.

Di sana juga ada warung makanan. Yang membuat saya sedikit kecewa adalah cukup banyak tumpukan sampah di puncak gunung. Saya tidak mengerti, bukankah orang-orang mau mendekatkan diri dengan alam makanya mereka mendaki gunung, tetapi kenapa harus nyampah di puncaknya?

Puncak Gunung Geulis merupakan tanah yang datar dan cukup luas. Jadi, puncak Gunung Geulis merupakan puncak yang aman. Ada dua pohon beringin ikonik di sana yang bisa terlihat dari daratan di bawah.

Kemudian, kami berjalan ke sebuah tugu yang menandakan kami sedang berada di puncak Gunung Geulis. Di sana kami melihat pemandangan daratan yang luas di bawah.

Dari atas terlihat jika sawah masih mendominasi daratan di sekitar Gunung Geulis di waktu itu. Kami juga melihat rangkaian pegunungan yang mengelilingi dataran Bandung dan Sumedang dengan pandangan yang lebih luas.

Rasa letih kami terbayar dengan pemandangan yang kami lihat. Angin yang berhembus cukup kencang membuat badan saya terasa segar kembali. Ternyata beginilah rasanya ada di puncak gunung.

Pantaslah banyak orang yang hobi mendaki gunung walaupun harus berlelah-lelah dan bersusah payah karena ada sensasi kebahagiaan dan kepuasan tersendiri ketika sudah berada di puncak gunung.

Terbayang orang-orang yang mendaki gunung dengan ketinggian yang lebih tinggi dan trek pendakian yang lebih sulit. Pastilah mereka lebih puas dan lebih bahagia lagi.

Kami berfoto-foto dan beberapa waktu menikmati pemandangan di atas puncak. Tidak lama kemudian, guide kami mengingatkan bahwa waktu sudah sore dan kami harus cepat turun jika tidak mau turun dalam keadaan sudah gelap.

Kami pun turun kembali dengan waktu yang lebih cepat daripada saat mendaki. Kami sampai di kampus pada waktu Maghrib. Kami lega dan bersyukur tidak ada hal yang menyulitkan ketika perjalanan dan bisa kembali dengan selamat.

Saat itu saya pikir mungkin suatu hari bisa mendaki gunung lagi. Mendaki gunung yang lebih tinggi dengan pemandangan yang lebih indah. Misalnya, Gunung Rinjani di Lombok.

Tetapi sampai saat ini, ternyata mendaki Gunung Geulis adalah yang pertama dan terakhir untuk saya. Apalagi sekarang saya sudah emak-emak dan saya tidak berlari sekuat dulu. Terbayang betapa gempornya jika sekarang saya harus mendaki gunung.

Itulah cerita pengalaman saya tentang kegiatan KSR dan mendaki gunung ketika menjadi mahasiswa dulu. Walau sudah bertahun-tahun yang lalu, pengalaman tersebut menjadi kenangan yang indah dan tidak terlupakan.

Baca Juga

Bagikan: