Pagi itu, di Pelabuhan Sibolga, cahaya matahari menyentuh perlahan dinding geladak kapal. Udara laut yang asin dan segar membangkitkan perasaan seperti hendak membuka halaman pertama dari buku petualangan yang lama ditunggu.
Saya berdiri di dek atas KMP Jatra II, memandang ke arah timur, tempat Pulau Nias membayang samar di kejauhan, seolah hendak kembali menyampaikan kisah-kisah lama yang pernah disimpan laut.
Suara mesin kapal bersahut pelan dengan debur ombak. Tak ada hiruk-pikuk khas kota, hanya obrolan penumpang dan aroma kopi dari kantin kapal yang menyusup di sela angin. KMP Jatra II bergerak perlahan tapi pasti menyusuri lintasan laut strategis Sibolga–Gunungsitoli.
Di kapal ini, saya merasa bukan sedang menempuh perjalanan biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, saya menyaksikan bagian dari proses “Transformation for Growth”, sebuah perubahan yang tidak gemuruh, tapi terasa bergetar di lapisan bawah kehidupan.
Saat akhirnya kaki saya menjejak tanah Nias, bukan gedung tinggi atau spanduk pariwisata yang menyambut. Sambutan pertama adalah sunyi dan kesahajaan.
Pohon kelapa tumbuh liar di pinggir jalan. Anak-anak bersepeda menyapa sambil tertawa kecil. Rumah-rumah berdinding kayu masih berdiri seperti penjaga zaman. Pulau ini menyambut dengan cara yang tenang, tak tergesa memikat, hanya ingin dipahami.
Di perjalanan menuju pusat kota, saya sempat berbincang dengan Danisa Baluseda, warga asli Nias yang juga menumpang kapal yang sama. Ia bercerita dengan semangat yang tak bisa disembunyikan.
“Kami ingin wisatawan datang bukan sekadar berkunjung, tapi benar-benar memahami siapa kami,” ucapnya.
Bagi Danisa, KMP Jatra II bukan hanya moda transportasi, tapi jembatan untuk cita-cita lama agar Nias dikenal bukan semata karena lompat batu atau legenda masa lalu, tapi karena kehidupan yang masih hangat, alam yang megah, dan budaya yang bertahan.
Nias sedang menata dirinya. Dari tarian perang yang diwariskan turun-temurun, rumah adat yang megah, hingga pantai-pantai berselancar kelas dunia, semuanya perlahan membentuk mosaik identitas baru, sebuah Geopark yang tak hanya menyimpan batu dan bentang geologi, tapi juga ingatan dan kebijaksanaan manusia.
Nias bukan sekadar destinasi, ini ruang belajar, tempat di mana bumi dan budaya bertemu, tempat di mana pelancong tak hanya datang membawa kamera, tapi pulang membawa pemahaman.
Dalam konteks yang lebih besar, kehadiran KMP Jatra II adalah benang pertama yang dijalin dalam anyaman panjang pembangunan wilayah terluar.
ASDP, lewat peran strategisnya, tidak hanya membawa kapal ke lintasan baru, tapi membuka akses dan menyambung narasi besar tentang bagaimana pembangunan seharusnya merangkul yang tersisih.
Inilah bentuk nyata “kontribusi ASDP untuk rakyat” yang tidak hanya tertulis dalam laporan tahunan, tapi bisa dirasakan langsung oleh warga yang setiap hari bergantung pada konektivitas antarpulau.
Dari Geladak Kapal ke Jantung Pulau
Saya mendengar sendiri bagaimana Direktur Utama ASDP, Heru Widodo, menyebut langkah ini sebagai bentuk tanggung jawab BUMN dalam pemerataan pembangunan. Kontribusi ASDP untuk rakyat dapat memberikan transportasi yang aman, nyaman, dan terjangkau adalah fondasi utama pembangunan daerah.
“Setidaknya ada sembilan pantai eksotis yang jadi mahkota Pulau Nias. Kekayaan ini bukan hanya aset lokal, tapi bisa jadi energi ekonomi baru bagi Indonesia dari barat,” ungkap Heru Widodo yang bangga menyatukan Nusantara bersama ASDP.
Ia tak sedang beretorika. Sebab kapal sepanjang 90 meter ini tidak hanya mengangkut kendaraan dan manusia, tapi juga harapan agar Nias tidak lagi jauh, harapan agar pertumbuhan tidak hanya tumbuh di kota-kota besar.
Dari balik jendela kapal, saya membayangkan para pelajar yang kini lebih mudah pergi ke sekolah di luar pulau, ibu-ibu yang bisa menjual hasil tanamannya ke pasar yang lebih luas, dan pelaku usaha yang tak lagi terkendala rantai logistik.
Angka-angka yang tercantum di spesifikasi kapal, berkapasitas 425 penumpang, 100 kendaraan—tidak bisa menggambarkan sepenuhnya perubahan sosial yang sedang berdenyut pelan.
Geopark Nias bukan mimpi baru, tapi kini menjadi semakin mungkin. Di balik bebatuan purba dan patahan geologis, tersembunyi narasi panjang tentang kesetiaan masyarakat pada tanahnya.
Banyak yang masih belum mengenal bahwa Nias punya sembilan pantai eksotis, bahwa tradisi lompat batu bukan sekadar pertunjukan, tapi bagian dari pendidikan karakter. Semua itu kini mulai bisa dilihat dan disentuh lebih dekat, berkat jalur laut yang telah dihidupkan kembali.
Langkah strategis ini pun mendapat sambutan hangat dari Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution. Ia mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjadikan Geopark Nias proyek prioritas lintas kabupaten, bahkan lintas kementerian.
Bagi Bobby, geopark bukan sekadar potensi lokal. Ini adalah peluang internasional yang jika digarap dengan baik, bisa mengangkat wajah Nias pentas global.
Bobby meyakini bahwa kehadiran KMP Jatra II di rute Sibolga–Gunungsitoli akan menjadi pemicu penting percepatan mobilitas masyarakat.
“Lebih dari itu, kapal ini diharapkan menjadi gerbang utama yang mengundang wisatawan mancanegara untuk datang dan menjelajahi kekayaan alam serta budaya Pulau Nias. Inilah saatnya dunia mengenal Nias lebih dekat,” ujarnya penuh optimisme.
Di sisi lain, Wali Kota Gunungsitoli, Sowa’a Laoli, menggarisbawahi betapa pentingnya kehadiran kapal ini dalam menggairahkan ekonomi lokal.
Ia berharap, kapal ini bisa mendorong perputaran barang dan manusia, menurunkan biaya distribusi, serta membuka peluang-peluang baru bagi pelaku usaha di wilayah pesisir.
“Kami harap ASDP dapat terus memberikan dukungan kepada Pulau Nias agar kebutuhan pokok dapat berjalan dengan baik. Mari menyambut baik kapal milik ASDP ini, saya harap semua pelaku usaha dapat memanfaatkan dengan baik kesempatan ini,” ujarnya.
ASDP Menyatukan Wilayah, Menyalakan Mimpi
KMP Jatra II sendiri adalah kapal jenis Ro-Ro yang tak hanya dirancang untuk efisiensi, tetapi juga kenyamanan. Seluruh fasilitas di kapal ini dapat dinikmati pengguna tanpa biaya tambahan.
ASDP bahkan membuka sistem pembelian tiket daring lewat trip.ferizy.com, sebagai bagian dari transformasi digital. Dengan sistem ini, tak ada lagi antrean panjang atau informasi yang buram. Segalanya menjadi lebih mudah, lebih transparan.
ASDP menyebut langkah ini sejalan dengan semangat besar perusahaan: “We Bridge the Nation”. Di Nias, semboyan itu terasa bukan sekadar kalimat promosi. Ia hidup di antara warga yang mulai bermimpi lebih besar, hidup di antara pengusaha lokal yang kini lebih percaya diri mengembangkan usahanya, hidup di antara anak-anak sekolah yang tak lagi ragu bermimpi kuliah di luar pulau.
Ketika saya kembali ke Sibolga, matahari mulai turun. Cahaya keemasan menari di permukaan laut. Saya kembali berdiri di dek kapal, memandangi laut yang sama, namun dengan perasaan berbeda.
Kali ini, saya tidak hanya membawa pulang cerita, tapi juga keyakinan, bahwa transformasi tak selalu harus berisik. Ia bisa datang lewat pelayaran pelan, lewat percakapan di kapal, lewat langkah sunyi yang membangun makna.
Perjalanan ini bukan hanya soal menempuh jarak, tetapi tentang menjemput harapan yang selama ini terhalang ombak. Dengan kapal yang menyatukan dan niat yang tulus, pembangunan bisa menjangkau tempat-tempat yang lama menunggu.
Ketika konektivitas terwujud, maka manusia, alam, dan budaya bisa berjalan bersama, maka Nias bukan hanya akan jadi destinasi, tapi inspirasi bagi Indonesia.