Di era modern ini, mendaki gunung telah bertransformasi menjadi tren gaya hidup yang menarik dan unik. Aktivitas ini bukan hanya sekadar olahraga, tetapi juga menawarkan relaksasi pikiran, uji adrenalin, dan kesempatan untuk menikmati keindahan alam yang luar biasa, dengan cerita-cerita tak terlupakan sebagai bonusnya.
Dahulu, mendaki gunung dianggap sebagai kegiatan minat khusus. Pemilihan gunung pun sangat selektif, dengan mempertimbangkan trek yang panjang, ketinggian, hingga tingkat kesulitan. Semuanya diperhitungkan dengan cermat.
Oleh karena itu, persiapan khusus sangat dibutuhkan bagi siapa saja yang ingin mendaki, sebab mereka akan menghadapi kondisi alam terbuka yang tak terduga. Jika kondisi fisik tidak memadai, risiko kelelahan, cedera, bahkan hal yang lebih buruk dapat mengintai.
Kesiapan fisik ini juga erat kaitannya dengan kesiapan mental. Pendakian membantu seseorang mengenali karakteristik medan, sekaligus “menemukan” jati diri.
Dari sinilah, pendaki dapat menentukan apakah mereka cukup kuat untuk melakukan pendakian “tek-tok” yang cepat, atau lebih memilih pendakian santai, lengkap dengan berkemah dan menikmati hangatnya api unggun. Tidak ada yang benar atau salah dalam hal ini, karena semua bergantung pada kemampuan dan karakter unik masing-masing individu.
Itulah sebabnya, mendaki gunung sebelum era media sosial tidak begitu ramai, apalagi sampai menimbulkan kegaduhan. Dokumentasi pun terbatas, hanya seperlunya saja.
Situasi ini perlahan berubah seiring perkembangan zaman, terutama setelah film “5 Cm” (2012) meraih kesuksesan besar di bioskop Indonesia. Film yang mengisahkan pendakian ke Gunung Semeru ini menjadi titik awal pergeseran tren, yang semakin terasa di era media sosial.
Akibatnya, aktivitas yang dulunya dianggap sebagai “minat khusus” kini bertransformasi menjadi gaya hidup, terkait dengan kebutuhan aktualisasi diri.
Secara kuantitas, jumlah pendaki gunung di Indonesia meningkat signifikan. Gunung yang didaki pun semakin beragam, termasuk gunung dan bukit yang sebelumnya kurang populer.
Pergeseran tren ini kemudian menciptakan potensi pariwisata yang menarik. Selain keindahan alam yang memukau, tren gaya hidup ini juga konsisten menjadi viral di media sosial, karena berhubungan dengan kebutuhan aktualisasi diri, terutama bagi mereka yang mendaki karena terpengaruh tren.
Jika dikelola dengan serius, potensi manfaatnya sangat besar, terutama bagi masyarakat sekitar. Indonesia memiliki ratusan gunung yang tersebar dari Aceh hingga Papua, masing-masing dengan keunikan tersendiri, termasuk kearifan lokal masyarakat setempat.
Indonesia bahkan memiliki Gunung Tambora (Nusa Tenggara Barat) dan Gunung Krakatau, yang pernah mencatat sejarah erupsi terdahsyat di dunia. Potensi besar ini bisa menjadi aset berharga, asalkan dioptimalkan dengan bijak tanpa merusak lingkungan.
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah dan pihak terkait perlu lebih serius mengedukasi para pendaki, khususnya para pemula atau mereka yang baru tertarik karena tren media sosial, agar tetap tertib dan bertanggung jawab.
Selain itu, perlu ada batasan mengenai gunung mana yang boleh didaki dan mana yang tidak. Pembatasan juga berlaku pada jalur pendakian, seperti di Gunung Merapi (2.930 meter di atas permukaan laut) di perbatasan Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta, yang hanya diperbolehkan sampai Pos Pasar Bubrah (Pos 4) karena potensi bahaya aktivitas vulkanik di puncak gunung.
Di sisi lain Pulau Jawa, tepatnya di Provinsi Jawa Timur, terdapat setidaknya empat gunung yang dilarang didaki, yaitu Gunung Piramid, Gul-gulan, dan Saeng (terletak di kawasan perbukitan lereng Gunung Argopuro) di Kabupaten Bondowoso. Meskipun ketinggiannya hanya berkisar 1.200-1.500 mdpl, atau sekitar separuh dari Gunung Argopuro (3.088 mdpl) yang dikenal dengan trek pendakiannya yang panjang, jalur pendakian yang ekstrem, dan statusnya yang bukan objek wisata membuat ketiga gunung ini dilarang didaki.
Alasan serupa juga menjadi dasar pelarangan pendakian Gunung Baluran. Selain itu, gunung setinggi 1.247 mdpl ini juga merupakan bagian dari Taman Nasional Baluran, yang kelestarian ekosistemnya perlu dijaga.
Ketertiban menjadi aspek penting yang rentan dilanggar, terutama di era modern ini, karena potensi dampak negatifnya cukup besar. Selain faktor alam yang kadang tak terduga, perilaku negatif manusia juga perlu diwaspadai.
Di luar contoh klasik seperti membuang sampah sembarangan, tren munculnya biro “open trip” ilegal menjadi masalah serius. Sudah banyak kasus pendaki gunung yang tertipu atau gagal mendaki karenanya. Selain itu, ada juga keributan akibat perilaku “booking” area perkemahan, yang perlu segera ditertibkan, misalnya dengan membuat area perkemahan resmi, seperti halnya basecamp pendakian di lereng gunung.
Menariknya, di tengah berbagai dinamika yang terjadi, tren mendaki gunung menjadi gambaran jujur tentang bagaimana seleksi alam bekerja, bahkan melalui perilaku manusia. Dari tujuan awal mereka mendaki, dapat terlihat bagaimana perkembangan mereka selanjutnya.
Mereka yang hanya ikut-ikutan tren akan surut seiring meredanya tren tersebut, begitu pula dengan mereka yang hanya mencari keuntungan. Praktis, satu-satunya yang bisa bertahan dan berkembang adalah mereka yang benar-benar menemukan diri mereka di sana.
Pada akhirnya, mendaki gunung bukanlah perlombaan seperti Olimpiade yang memiliki motto “Citius, Altius, Fortius” (bahasa Latin: Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat), juga bukan tentang seberapa banyak gunung yang didaki. Ini adalah proses mengenali diri yang dibungkus dengan “healing” dan keindahan alam sebagai bonusnya.
Ringkasan
Dahulu, mendaki gunung adalah kegiatan minat khusus dengan persiapan matang dan seleksi gunung yang ketat. Seiring waktu dan pengaruh media sosial, mendaki gunung bertransformasi menjadi tren gaya hidup yang populer, meningkatkan jumlah pendaki dan membuka potensi pariwisata. Film “5 Cm” menjadi salah satu pemicu perubahan ini, mendorong orang untuk mendaki sebagai bentuk aktualisasi diri.
Namun, peningkatan popularitas ini juga memunculkan masalah, seperti kurangnya kesadaran akan keselamatan dan lingkungan. Oleh karena itu, edukasi bagi pendaki pemula, pembatasan jalur pendakian, serta penertiban biro perjalanan ilegal menjadi krusial. Pada akhirnya, mendaki gunung seharusnya menjadi proses mengenali diri, bukan sekadar mengikuti tren atau mencari keuntungan semata.