Talenta Digital Langka: Ekonomi Indonesia Terancam Stagnan?

Ade Banteng

Rancak Media – , Jakarta – Studi terbaru dari IBM menyoroti sebuah tantangan krusial bagi perekonomian nasional: 45 persen pelaku usaha di Indonesia mengidentifikasi kekurangan talenta digital sebagai hambatan utama dalam mencapai target bisnis mereka. Kondisi ini berpotensi serius mengancam laju pertumbuhan ekonomi negara.

Menanggapi hasil studi tersebut, Willy Bachtiar, Dosen Program Studi Komunikasi Digital dan Media IPB University, menegaskan bahwa angka tersebut sangat realistis, bahkan mungkin lebih parah di lapangan. Ia menjelaskan bahwa kesenjangan kompetensi tidak hanya terbatas pada kemampuan teknis seperti coding dan desain, tetapi juga mencakup mindset digital dan kesiapan untuk beradaptasi dengan perubahan yang serba cepat. Willy menambahkan, “Banyak individu yang hanya familier menggunakan platform digital, tapi tidak memiliki kompetensi digital yang sebenarnya.”

Lebih lanjut, Willy memberikan contoh konkret: banyak individu yang mahir menggunakan media sosial, namun kesulitan mengelola kampanye pemasaran digital berbasis data yang efektif. Bahkan di tingkat manajerial, ia mengamati bahwa banyak pemimpin belum mampu menerjemahkan visi digital menjadi strategi konkret yang dapat diimplementasikan.

Data IBM turut memperkuat pandangan ini, menunjukkan bahwa kesenjangan talenta digital tidak hanya terlihat pada staf IT berkualitas (56 persen) dan literasi digital (43 persen), tetapi juga sangat terasa pada kesadaran keamanan siber (63 persen) serta keterampilan pengelolaan data (56 persen). Kondisi ini berpotensi memicu ‘badai siber’ yang bisa memperparah kerentanan keamanan dan infrastruktur teknologi informasi, mengancam stabilitas operasional bisnis.

Untuk mengatasi defisit talenta digital yang mendesak ini, Willy mengusulkan pendekatan pelatihan digital yang inovatif: berbasis proyek nyata, kolaboratif, dan modular. Ia mencontohkan program delapan minggu dengan pendekatan tantangan yang dirancang khusus untuk membantu mahasiswa mengembangkan solusi digital bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). “Peserta tidak hanya belajar tools, tapi juga langsung menyelesaikan permasalahan industri secara konkret. Format ini terbukti efektif karena pembelajaran kontekstual dan relevan,” jelasnya.

Willy juga menekankan pentingnya kecepatan adaptasi dan ketepatan data dalam perancangan kurikulum pelatihan. Ia menyarankan pengembangan pelatihan berbasis ‘real-time skill intelligence’ yang memanfaatkan data dari platform terkemuka seperti LinkedIn Talent Insights dan Skill Signals World Economic Forum. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kompetensi yang diajarkan selalu relevan dengan tren keterampilan terbaru di pasar kerja.

Solusi jangka panjang yang mendapatkan dukungan luas adalah Kemitraan Publik-Swasta (PPP), dengan 97 persen responden studi IBM menyatakan pemerintah harus lebih aktif, dan 96 persen mendukung model PPP. Willy menyebut model ini sebagai ‘kolaboratif-ekosistemik’, di mana pemerintah, industri, dan akademikus berinteraksi secara strategis dan fungsional. Dalam skema ini, pemerintah berperan sebagai fasilitator kebijakan dan penyedia infrastruktur, industri sebagai penyedia tantangan nyata dan mentor profesional, sementara akademikus merancang pembelajaran yang metodologis dan berkelanjutan. Sebagai contoh, program Bangkit yang melibatkan Google, Gojek, dan berbagai universitas di bawah inisiatif Kampus Merdeka, telah berhasil menerapkan model ini dengan memadukan pembelajaran coding dan pengembangan proyek berbasis pemecahan masalah.

Sebagai visi masa depan untuk mengatasi tantangan regenerasi digital, Willy mengusulkan pembangunan ‘Indonesia Digital Twin for Talent‘. Ini adalah sebuah ekosistem berbasis kecerdasan buatan (AI) dan Big Data yang dirancang untuk memetakan dan mempersonalisasi jalur karier digital setiap warga negara. “Ini seperti kombinasi LinkedIn, Duolingo, dan Google versi nasional yang terintegrasi untuk semua sektor. Sistem ini dapat menyarankan pelatihan tepat waktu, memprediksi kesenjangan keterampilan, dan memberikan rekomendasi karier yang sesuai,” paparnya.

Willy menegaskan bahwa tantangan terbesar bukan sekadar mengejar kekurangan talenta, tetapi menciptakan regenerasi digital berkelanjutan dengan pendekatan adaptif dan berpusat pada manusia. Tujuannya adalah agar kelangkaan talenta digital tidak lagi menjadi penghambat laju ekonomi Indonesia.

Ringkasan

Studi IBM mengungkapkan bahwa 45 persen pelaku usaha di Indonesia mengidentifikasi kekurangan talenta digital sebagai hambatan utama dalam mencapai target bisnis, berpotensi serius mengancam pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan kompetensi ini tidak hanya terbatas pada kemampuan teknis, tetapi juga mencakup *mindset* digital, literasi, pengelolaan data, serta kesadaran keamanan siber, yang dapat memicu kerentanan sistem informasi. Dosen IPB University, Willy Bachtiar, menegaskan realisme angka tersebut dan bahkan melihat kondisi di lapangan mungkin lebih parah.

Untuk mengatasi defisit ini, diusulkan pendekatan pelatihan digital berbasis proyek nyata, kolaboratif, dan modular yang relevan dengan kebutuhan industri. Solusi jangka panjang yang didukung luas adalah Kemitraan Publik-Swasta (PPP) yang melibatkan pemerintah, industri, dan akademikus dalam kolaborasi strategis. Visi masa depan mencakup pembangunan ‘Indonesia Digital Twin for Talent’, sebuah ekosistem berbasis AI dan Big Data untuk memetakan dan mempersonalisasi jalur karier digital demi menciptakan regenerasi digital berkelanjutan.

Baca Juga

Bagikan:

Tags