Insiden Juliana: Momen Evaluasi Wisata Outdoor dan Pendakian

Ade Banteng

Drama empat hari pencarian dan evakuasi di Gunung Rinjani itu berujung duka.

Pada Rabu (25/6/2025), Tim SAR Terpadu mengevakuasi jenazah Juliana De Souza Pereira Marins (27) yang terjatuh di jurang Danau Segara Anak, Gunung Rinjani, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sehari sebelumnya, Tim SAR berhasil menjangkau Juliana di kedalaman jurang 600 meter dari posisi terakhir jatuh. Saat itu, Juliana dipastikan sudah tak bernyawa.

Selasa malam, sejumlah relawan dan tim penyelamat memasang flying sheet demi bermalam menjaga jenazah Juliana agar tak terperosok lebih dalam. Agam dan Tyo, anggota relawan yang bermalam menemani jenazah perempuan asal Brazil tersebut menuturkan situasi evakuasi korban begitu sulit karena medan yang berat dan cuaca buruk.

Sampai Juliana berhasil dievakuasi dan dibawa turun, Agam dan Tim SAR bekerja hampir 15 jam dalam kondisi yang ekstrem. Dalam siaran langsungnya, seperti dilansir media Brazil G1.Globo pada Rabu (25/6), Agam bersama penerjemah berbahasa Portugis menampilkan kondisi evakuasi. Terlihat sejumlah material yang berada di atas tim evakuasi runtuh beberapa kali hingga batu dan pasir berjatuhan.

Baca juga: Tim SAR Temukan Posisi Jatuhnya Pendaki Brazil di Rinjani

Dengan kondisi makanan yang minim dan cuaca buruk, Agam dan tim evakuasi lain mesti bergelantungan di tebing untuk menahan jenazah korban.

Menurut Agam, udara dingin serta kabut yang tebal membuat tim evakuasi kesulitan. Jarak pandang yang hanya 5 meter karena tertutup kabut menambah sulit proses evakuasi. Atas dedikasinya, Agam dan Tyo banjir pujian dari warga Brazil yang memang memantau kasus Juliana dengan amat intens sejak akhir pekan lalu.

“Kita bisa jatuh kapan saja,” kata Agam.

Juliana terperosok ke jurang saat beristirahat di jalur setapak di Cemara Tunggal, Sabtu pukul 04.00 WITA pada Sabtu (21/6/2025). Saat itu, Juliana dan lima pendaki mancanegara lainnya tengah menuju puncak Rinjani atau summit attack ditemani seorang pemandu. Ia mendaki melalui jalur Sembalun pada Jumat (20/6/2025).

Sementara Juliana beristirahat sendirian, pemandu dan pendaki lainnya melanjutkan perjalanan. Karena tak kunjung melihat Juliana, pemandu pendakian pun turun kembali ke tempat Juliana beristirahat. Saat itulah diduga Juliana terjatuh ke dalam jurang.

Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) menerima laporan jatuhnya Juliana pada pukul 06.30 WITA. Sabtu itu, Balai TNGR sempat menduga Juliana masih dalam kondisi hidup. Hal ini didukung kesaksian pemandu bahwa terlihat cahaya senter dari jurang dengan perkiraan jarak kedalaman sekitar 200 meter.

Juliana diduga mengalami shock berat, sejumlah saksi di lokasi kejadian sempat mendengar teriakan minta tolong.

Di hari itu juga, pukul 09.50 WITA, Tim SAR sudah berada di Rinjani dan bersiap melakukan operasi pencarian. Pukul 14.32 WITA, tim pendahulu tiba di lokasi jatuhnya Juliana dan memasang peralatan pencarian dan pertolongan. Namun, tali sepanjang 300 meter yang dilempar ke jurang tak mampu menjangkau Juliana.

Influencer asal Brazil itu ditengarai terperosok lebih dalam hingga kedalaman 600 meter. Sabtu malam sekitar pukul 20.00 WITA, Tim SAR berupaya menjangkau Juliana dengan turun langsung ke jurang sampai kedalaman 200 meter, namun malam itu tak ada respons suara dari korban.

Proses evakuasi dilanjutkan Minggu (22/6), namun tak membuahkan hasil karena terganggu cuaca yang buruk. Sehari selanjutnya, pencarian kembali diteruskan menggunakan pesawat nirawak atau thermal drone.

Barulah pada Senin pagi, posisi Juliana dapat diidentifikasi. Ia diduga tersangkut di tebing batu pada kedalaman 500 meter dari pantauan drone. Namun tak ada tanda-tanda pergerakan, sehingga timbul dugaan kondisi Juliana sudah kritis atau sudah meninggal.

Esok harinya, pada Selasa pukul 18.00 WITA, tim SAR akhirnya dapat menjangkau tubuh Juliana. Setelah memastikan kondisi Juliana, tim SAR akhirnya melaporkan bahwa korban sudah meninggal dunia.

“Satu orang penyelamat dari Basarnas atas nama Hafid Hasadi berhasil menjangkau korban pada kedalaman 600 meter yang disebut datum point. Di mana sebelumnya, diperkirakan korban ada di posisi kedalaman 400 meter dan ternyata setelah tim dapat menjangkau korban, ada pergeseran turun ke bawah lagi menjadi kedalaman 600 meter,” kata Kepala Badan SAR Nasional atau Basarnas, Mohammad Syafii, dalam keterangannya, Selasa.

SAR Terpadu yang diturunkan untuk menjangkau korban pada Selasa malam melaksanakan flying camp untuk menjaga jenazah tidak terperosok lagi. Tiga orang berada di anchor kedua pada kedalaman 400 meter dan empat orang bersama jenazah di datum point kedalaman 600 meter.

Rabu (25/6) pagi, Juliana berhasil dievakuasi Tim SAR Terpadu, sekaligus mengakhiri misi pencarian dan penyelamatan yang berujung duka.

Insiden Juliana di Gunung Rinjani memang mendapatkan perhatian khalayak Internasional. Di Brazil sendiri, keluarga Juliana dan warganet Negeri Samba itu sempat kecewa dengan tindakan Pemerintah Indonesia yang dinilai lambat dalam berupaya menyelamatkan Juliana. Mereka menilai Juliana ‘ditelantarkan’ berhari-hari di dalam jurang hingga hilang nyawa.

Namun teranyar, keluarga Juliana mengucapkan terima kasih atas dedikasi relawan dan tim penyelamat karena telah berjuang mengevakuasi korban. Di sosial media Instagram yang diklaim sebagai milik perwakilan keluarga Juliana, mereka juga mengucapkan terima kasih khusus untuk relawan Agam dan Tyo.

“Meski hasilnya sudah di luar jangkauan kami, kami menyimpan perasaan dalam hati bahwa, jika Anda berhasil tiba lebih awal, mungkin ujungnya bisa berbeda. Sikap Anda tidak akan pernah terlupakan. Terimalah semua rasa hormat, kekaguman, dan rasa terima kasih abadi kami,” tulis keluarga Juliana.

Sejak Februari, Juliana memang sedang menjelajah Asia. Juliana backpacking mengunjungi Filipina, Vietnam, dan Thailand sebelum tiba di Indonesia. Saat mendengar putrinya terjatuh, ayah Juliana, Manoel Marins, sudah bergegas menuju Indonesia pada akhir pekan lalu.

Tapi langkah Manoel terhenti sebab pesawat yang hendak menerbangkannya ke Indonesia tertahan di Lisbon, Portugal, akibat situasi konflik di Timur Tengah.

“Bagian diriku telah diambil,” tulis Manoel di Instagram Selasa lalu saat mendengar Juliana telah ditemukan meninggal dunia.

Membawa Pelajaran dan Evaluasi Insiden yang menimpa warga Brazil di Gunung Rinjani, Juliana Marins, hendaknya menjadi titik evaluasi bagi pariwisata pendakian dan aktivitas outdoor di Indonesia.

Sebelum Juliana, kecelakaan di Gunung Rinjani menimpa dua pendaki asal Malaysia pada dua waktu berbeda, yakni April dan Mei 2025. Tahun lalu, seorang pendaki asal Swiss juga dilaporkan tewas ketika mendaki Bukit Anak Dara di Gunung Rinjani.

Aktivitas mendaki gunung memang dibutuhkan persiapan fisik dan logistik yang memadai. Hal ini juga perlu didukung pengetahuan akan medan pendakian yang akan dijalani. Di sisi lain, peran besar pengelola atau Balai Taman Nasional serta pemandu dalam pendakian juga tak bisa dipungkiri dalam memastikan keselamatan pendaki.

Ketua Umum Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI), Rahman Mukhlis, menyatakan bahwa APGI menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Juliana De Souza Pereira Marins yang terjatuh di jalur pendakian menuju Puncak Rinjani. Rahman memastikan bahwa pemandu wisata gunung yang mendampingi Juliana dan rekan-rekannya tidak tergabung dalam keanggotaan APGI.

Rahman mengingatkan kepada seluruh anggota APGI serta para pemangku kepentingan dan masyarakat umum agar meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab mewujudkan aktivitas pendakian gunung yang aman dan nyaman.

Hal ini dilakukan dengan mengutamakan faktor kebersihan, kesehatan, keamanan, serta keselamatan lingkungan (CHSE) wisata pendakian gunung di Indonesia. “Kejadian ini tentu menjadi evaluasi kami dan para pemangku kepentingan untuk dapat berkolaborasi memperbaiki dan meningkatkan tata kelola wisata pendakian gunung yang profesional, aman dan nyaman,” kata Rahman kepada wartawan Tirto, Kamis (26/5/2025).

Sementara itu, guru besar studi pariwisata dari Universitas Udayana, Profesor Putu Anom, memandang bahwa dalam insiden Juliana, upaya yang dilakukan oleh Tim SAR sepatutnya diapresiasi. Hal ini mengingat kondisi medan di jalur menuju puncak Gunung Rinjani yang memang tidak mudah dan tergolong ekstrem.

Terlebih, korban terjatuh pada jurang dengan kedalaman ratusan meter. Menurut Putu, regu SAR sudah bertaruh nyawa dalam misi pencarian dan penyelamatan Juliana.

“Memang pendakian di Rinjani tetap perlu dievaluasi dari produser SOP yang mesti diikuti wisatawan dan dilaksanakan pemandu wisata,” ucap Putu kepada Tirto, Kamis.

Ia menilai, evaluasi memang perlu dilakukan oleh para pemandu gunung beserta pengelola Taman Nasional. Seharusnya, kata Putu, amat riskan membawa turis asing ke atas Rinjani dengan jumlah pemandu gunung yang minim. Terlebih, yang dipandu itu merupakan grup atau wisatawan rombongan yang membuat potensi kerentanan semakin besar.

Baca juga:

  • Pendaki yang Hilang di Gunung Merbabu Ditemukan Meninggal Dunia
  • Pria 60 Tahun yang Hilang di Gunung Salak Bogor Ditemukan Tewas

Dalam konteks aktivitas pendakian, Putu menyayangkan apabila terdapat pemandu gunung yang meninggalkan pendaki sendirian. Ia mengamati bahwa kejadian kecelakaan di gunung sering terjadi ketika pendaki ditinggalkan sendirian dalam kondisi kelelahan atau kurang fit.

Terlebih, ketika pengelola taman nasional tidak membuat rambu-rambu serta pos jaga pada lokasi-lokasi yang rawan kecelakaan. Padahal, pos jaga berguna untuk persiapan peralatan dan logistik jika terjadi insiden atau diperlukan penyelamatan segera.

“Kalau musibah kan memang nasib tapi paling tidak ada pencermatan SOP dan penjelasan terlebih dahulu oleh pengelola sebelum pendakian. Semua pada tempat wisata yang rawan bencana di manapun entah naik gunung ataupun rafting itu perlu panduan dulu,” terang dia.

Di sisi lain, Ahli Manajemen Kebencanaan UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, menekankan bahwa seharusnya insiden dalam aktivitas pendakian bisa dicegah. Terutama ketika mekanisme pelaporan dan kecepatan bantuan bisa dimaksimalkan.

Dalam pendakian, Eko menilai pengelola perlu membuat aturan terpadu untuk pemandu dan pendaki, termasuk standar bagi yang mendaki sendiri atau beregu. Sebelum pendakian, jadi kewajiban bagi pengelola memastikan bahwa pendaki dan pemandu memenuhi prasyarat pendakian seperti peralatan dan logistik, termasuk pengetahuan akan medan yang didaki.

“Jangan sampai pendaki sendiri cenderung ke arah meningkatkan potensi risikonya. Standar pakaian pendaki menjadi penting seperti tahan dingin, barang dibawa dan minimal logistik,” ucap Eko kepada wartawan Tirto, Kamis.

Komunikasi yang baik antara pemandu dan pengelola akan membuat tim SAR memberikan pertolongan lebih cepat. Tim pencari dan penolong sendiri dinilai perlu memastikan ada evaluasi terkait pertolongan yang efektif dan sigap saat menghadapi insiden di medan yang ekstrem.

Memang tak adil menyalahkan salah satu pihak tertentu atas insiden yang dialami Juliana. Namun, bukan berarti peristiwa memilukan ini tak membawa pelajaran dan peluang evaluasi bagi seluruh pihak.

“Perlu lebih baik terutama dari taman nasional, agar kembali menyusun standar operasional prosedur mulai dari persyaratan kesehatan, logistik, komunikasi. Bagi pendaki dan pemandu wisata juga dipersiapkan agar mempermudah jika ada hal-hal yang tidak diinginkan,” ucap Eko.

Pengelola, pemandu, pendaki, tim SAR, hingga pemerintah perlu selalu menyadari bahwa menciptakan aktivitas pendakian yang aman diperlukan kerja sama dari seluruh pihak. Nasib memang tak bisa ditolak, namun musibah mampu dicegah.

Baca Juga

Bagikan:

Tags