Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, menilai penggunaan istilah beras oplosan kurang tepat untuk menggambarkan kasus peredaran beras yang tidak memenuhi standar mutu. Menurut Yeka, “oplosan itu praktik yang lazim” dalam industri beras, seperti yang disampaikannya kepada awak media di kantor Ombudsman pada Jumat, 8 Juli 2025.
Yeka menjelaskan bahwa praktik pencampuran varietas padi bahkan sudah terjadi jauh sebelum proses penggilingan, yaitu ketika produsen membeli gabah dari petani yang menanam berbagai jenis varietas padi secara bercampur. Ia menegaskan bahwa masyarakat cenderung tidak merasakan perbedaan signifikan ketika beras dari beragam varietas bercampur, sehingga hal tersebut tidak serta merta merugikan konsumen. Lebih lanjut, pencampuran antara beras lokal dan impor merupakan kegiatan yang dibenarkan. “Yang tidak boleh itu membohongi konsumen,” tegas Yeka.
Contoh praktik oplosan yang dianggap merugikan konsumen, menurut Yeka, adalah ketika produsen mengganti kemasan beras SPHP dan menjualnya dengan harga komersial. Kecurangan lain yang disorot adalah perbedaan signifikan antara keterangan pada label kemasan dengan kandungan beras sebenarnya. “Katakanlah pandan wangi dengan beras Cilamaya (perbandingannya) 70-30 tapi ternyata 50-50. Itu membohongi,” jelasnya.
Melarang praktik pencampuran secara keseluruhan, menurut Yeka, akan menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Pasalnya, tidak semua penggilingan padi memiliki alat dengan standar yang sama. Akibatnya, kemampuan penggilingan dalam menjaga konsistensi mutu kualitas, seperti presentase patahan beras, akan berbeda antara satu penggilingan dengan yang lain.
Penggilingan dengan skala besar, ditopang oleh peralatan canggih, memang lebih mudah menghasilkan beras dengan presentase patahan yang relatif lebih sedikit. “Jadi kalau menurut saya, campuran itu keniscayaan, enggak bisa dihindarkan,” tutur Yeka. Ia menambahkan bahwa selisih mutu yang tidak signifikan dari aturan pemerintah bukanlah masalah. Terlebih, perbedaan mutu beras dapat terjadi selama proses distribusi dan pengemasan, bukan karena kesengajaan atau kecurangan. “Misalnya kandungan menirnya harusnya 5 persen. Ini katakanlah 5,5 persen cuma selisih 0,5 persen tinggal diingatkan saja. Tidak mengurangi bobot berasnya,” ungkap Yeka.
Yeka mengungkapkan bahwa isu beras oplosan ini telah memicu gelombang kekhawatiran di kalangan para pelaku usaha penggilingan beras. Ia mencatat bahwa sebanyak 10 dari 23 penggilingan berskala kecil di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, memilih untuk berhenti beroperasi sejak isu ini mencuat. “Selain persaingan juga karena kondisi yang sekarang terjadi, ada ketakutan,” ujar Yeka.
Pernyataan tersebut disampaikan Yeka saat menceritakan pengalamannya melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah pengusaha beras baru-baru ini. Ia menemukan bahwa penggilingan yang tetap beroperasi memilih untuk mengurangi stok gabah. “Misalnya biasanya mereka punya 100 ton rata-rata stok, sekarang itu baru punya 5 ton,” kata Yeka. Ombudsman juga sempat memanggil sejumlah pengusaha penggilingan besar, yang ternyata ikut merasa was-was dan menekan stok gabah harian mereka.
Menurut Yeka, para penggiling kini cenderung ragu-ragu dalam memproduksi beras karena khawatir produk mereka akan dianggap menyalahi aturan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras. Kondisi tekanan yang dialami penggilingan ini, lanjut Yeka, pada akhirnya berdampak pada kelangkaan beras di pasaran. Ia bahkan bercerita sudah tidak lagi menemukan beras di toko ritel modern.
Yeka mengingatkan agar pemerintah segera melakukan mitigasi terhadap kelangkaan beras yang dipicu oleh kekhawatiran dan keengganan para penggiling untuk beroperasi secara maksimal. Salah satu langkah mitigasi yang disarankan adalah dengan melonggarkan standar mutu kualitas beras.
Pilihan Editor: Apa Risiko Jika Danantara Menalangi Utang Kereta Cepat
Ringkasan
Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, menilai istilah “beras oplosan” kurang tepat karena pencampuran varietas beras adalah praktik lazim dalam industri, bahkan sejak gabah dibeli dari petani. Praktik ini tidak serta merta merugikan konsumen kecuali jika ada penipuan, seperti mengganti kemasan beras SPHP atau memalsukan kandungan pada label. Menurut Yeka, melarang pencampuran secara keseluruhan akan sulit karena perbedaan standar peralatan penggilingan, menjadikan perbedaan mutu yang tidak signifikan sebagai keniscayaan.
Isu ini telah memicu kekhawatiran besar di kalangan pelaku usaha penggilingan beras, menyebabkan banyak penggilingan berhenti beroperasi atau mengurangi stok gabah karena takut menyalahi aturan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 23 Tahun 2023. Kondisi ini berdampak pada kelangkaan beras di pasaran. Oleh karena itu, Ombudsman menyarankan pemerintah untuk segera melakukan mitigasi dengan melonggarkan standar mutu kualitas beras guna mengatasi masalah ini.