Rancak Media – , Jakarta – Pembahasan mengenai kebijakan penjualan liquefied petroleum gas (LPG) alias elpiji 3 kilogram satu harga tengah menjadi sorotan pemerintah, khususnya di Jakarta. Namun, gagasan ini berpotensi menimbulkan tekanan fiskal yang signifikan, sebagaimana diungkapkan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Abra Talattov, Head of Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef, mengakui bahwa kebijakan elpiji satu harga ini dapat mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial bagi masyarakat. Meski demikian, dalam publikasi Monthly Update Edisi Juli 2025 pada Ahad, 3 Agustus 2025, Indef memprediksi bahwa langkah ini akan memperbesar beban anggaran negara. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya biaya distribusi yang harus ditanggung pemerintah, terutama untuk menjangkau wilayah-wilayah terpencil di Indonesia.
Rencana implementasi elpiji satu harga ini pertama kali diutarakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia dalam rapat kerja dengan Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 2 Juli 2025. Menurut Menteri Bahlil, perubahan metode penyaluran gas melon (sebutan lain untuk LPG 3 kg) ini bertujuan utama untuk mencegah penyimpangan dan memastikan bahwa subsidi elpiji benar-benar sampai kepada yang berhak.
Saat ini, pemerintah mengalokasikan anggaran fantastis sebesar Rp 80-87 triliun setiap tahunnya untuk subsidi LPG 3 kilogram. Ironisnya, sebagian besar dari bantuan tersebut tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat yang semestinya menjadi target utama subsidi ini, menimbulkan inefisiensi dan ketidakmerataan.
Disparitas harga menjadi salah satu masalah krusial yang ingin diatasi. Harga Eceran Tertinggi (HET) LPG 3 kilogram yang ditetapkan pemerintah daerah bervariasi antara Rp 16 ribu hingga Rp 19 ribu per tabung, tergantung wilayah. Namun, di tingkat pengecer, harga seringkali melambung mencapai Rp 22 ribu hingga Rp 23 ribu, bahkan tak jarang melonjak hingga Rp 50 ribu per tabung di daerah-daerah terpencil.
Indef menilai bahwa pemerataan harga LPG subsidi di seluruh provinsi berpotensi mengurangi kesenjangan antarwilayah secara signifikan. Efisiensi subsidi juga dapat dicapai melalui sistem yang berfokus pada penerima manfaat langsung dan rantai distribusi yang lebih terkontrol. Namun, di sisi lain, jika biaya logistik antarwilayah tetap tinggi dan alokasi dana subsidi tidak memadai, konsekuensinya adalah pemerintah harus menanggung selisih biaya distribusi tersebut, yang pada akhirnya akan memperbesar beban fiskal negara.
Keberhasilan penerapan kebijakan ini juga sangat bergantung pada validitas data penerima subsidi serta efektivitas pengawasan di lapangan. Indikasi tekanan fiskal akan semakin nyata jika skema elpiji satu harga ini pada akhirnya mengalihkan seluruh biaya distribusi dari pengecer kepada pemerintah. Dalam skenario ini, Pertamina, sebagai entitas yang ditugaskan untuk mendistribusikan LPG 3 kg ke seluruh penjuru negeri, akan menanggung biaya distribusi di muka, yang nantinya akan diganti melalui skema subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menanggapi pro dan kontra, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menegaskan bahwa penetapan elpiji satu harga sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Menurutnya, kebijakan ini akan diberlakukan secara nasional untuk menghindari perbedaan harga yang signifikan antar daerah. “Harga LPG satu harga ditentukan pemerintah pusat. Kalau tiap daerah tetapkan sendiri, harga bisa beda-beda, ini yang ingin kita hindari,” ujar Yuliot saat diwawancarai di kantor Kementerian ESDM pada Jumat, 4 Juli 2025. Dengan demikian, pemerintah berharap dapat menciptakan keseragaman harga dan distribusi yang lebih adil di seluruh wilayah.
Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Simalakama Elpiji Satu Harga
Ringkasan
Pemerintah sedang membahas kebijakan elpiji 3 kilogram satu harga secara nasional yang diinisiasi oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mewujudkan pemerataan, keadilan sosial, serta mencegah penyimpangan subsidi elpiji yang saat ini dialokasikan sekitar Rp 80-87 triliun per tahun. Hal ini diharapkan dapat mengatasi disparitas harga yang signifikan, di mana harga di pengecer seringkali jauh melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) resmi.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi bahwa kebijakan ini berpotensi meningkatkan beban fiskal negara karena tingginya biaya distribusi ke wilayah terpencil. Indef menekankan pentingnya validitas data penerima dan efektivitas pengawasan lapangan agar subsidi tepat sasaran. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menegaskan bahwa penetapan harga elpiji satu harga akan menjadi kewenangan pemerintah pusat untuk menjamin keseragaman harga di seluruh wilayah.