Sengketa Pulau Aceh-Sumut: Misteri 4 Pulau yang Bikin Penasaran!

Ade Banteng

Rancak Media, Jakarta – Ketegangan memuncak dalam sengketa kepemilikan empat pulau strategis—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—yang kini meruncing antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh dan Sumatera Utara. Polemik ini semakin keruh menyusul keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan keempat pulau tersebut, yang sebelumnya secara administratif berada di wilayah Kabupaten Singkil, Aceh, kini resmi menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Ketetapan kontroversial ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138/2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau. Semula diharapkan mampu meredakan perseteruan atas kepemilikan pulau-pulau di pesisir barat Pulau Sumatra, keputusan yang dirilis pada Jumat, 25 April 2025, justru menuai sorotan tajam dan dianggap bermuatan politik serta kepentingan bisnis. Lantas, potensi apa sebenarnya yang tersembunyi di balik empat pulau yang menjadi pusat sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara ini?

Diduga Kaya Sumber Daya Alam Strategis

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) asal Aceh, Muslim Ayub, mengungkapkan bahwa pulau-pulau ini telah menjadi bagian dari wilayah Aceh sejak tahun 1992, sebuah ketetapan yang kala itu ditetapkan oleh Mendagri Rudini. Muslim Ayub mencurigai adanya motif bisnis di balik pemindahan administrasi empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara. Melalui unggahan di akun media sosial Instagramnya, @muslimayub.official, ia mengaku mendengar kabar bahwa keempat pulau tersebut menyimpan cadangan minyak dan gas bumi (migas) yang signifikan. Pihaknya bahkan mengungkap adanya rencana investasi besar dari Uni Emirat Arab (UEA) di keempat pulau tersebut, dengan kutipan, “Gasnya banyak di situ. Dubai sudah mau berinvestasi di sana,” yang diizinkan untuk dikutip oleh Tempo.

Memiliki Potensi Multi-Aspek

Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala (USK), Ahmad Humam Hamid, menegaskan bahwa empat pulau yang menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara memang memiliki potensi strategis yang luar biasa. Potensi ini mencakup aspek sumber daya alam (SDA) yang melimpah, lokasi geografis yang vital, serta peluang ekonomi-politik yang menjanjikan di masa mendatang. Pakar lainnya turut menyoroti potensi pariwisata yang belum tergarap optimal.

Secara geografis, Humam menjelaskan bahwa pulau-pulau ini berada di antara perairan paling aktif dalam lintasan pelayaran regional di pesisir barat Sumatra. Jalur ini, lanjut Humam, bukan hanya krusial bagi nelayan lokal, tetapi juga merupakan poros utama bagi pelayaran niaga dan mobilitas strategis maritim. “Jalur ini bukan hanya penting untuk nelayan lokal, tapi juga untuk pelayaran niaga dan pergerakan strategis maritim,” ucap Humam dalam wawancara pada Kamis, 12 Juni 2025.

Dari sisi sumber daya alam, perairan di sekitar pulau-pulau tersebut, menurut Humam, menyimpan potensi perikanan tangkap yang sangat tinggi. Nelayan dari Aceh Singkil hingga Sibolga telah lama menggantungkan hidup dari kawasan ini, menjadikannya bagian integral dari ekonomi perikanan rakyat. Selain itu, berdasarkan beberapa laporan teknis kelautan, kawasan ini juga teridentifikasi sebagai bagian dari koridor keanekaragaman hayati laut atau marine biodiversity corridor yang tergolong masih lestari. Ini, kata Humam, merupakan potensi ekologi sekaligus nilai ekonomi jangka panjang yang luar biasa. “Ini potensi ekologi sekaligus nilai ekonomi jangka panjang,” tambahnya.

Meskipun tidak ada warga yang bermukim secara permanen di keempat pulau ini—yang umumnya berfungsi sebagai kawasan singgah bagi nelayan—pulau-pulau tersebut bukanlah lahan kosong secara sosial. Humam mengungkapkan bahwa empat pulau ini hadir dalam keseharian masyarakat pesisir sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayah hidup, ruang jelajah, dan medan simbolis. Lanskap pulau-pulau yang alami dan nyaris tak terjamah menawarkan prospek besar sebagai tujuan ekowisata atau konservasi laut yang amat potensial.

Senada dengan itu, akademisi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa, Aceh, Muhammad Alkaf, pada Kamis, 12 Juni 2025, juga mengemukakan potensi pariwisata yang signifikan di keempat pulau tersebut. Menurutnya, jika dilihat dari luar, pulau-pulau ini memiliki kemiripan dengan lanskap perbatasan antara Bali dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Alkaf turut menguraikan tentang kesepakatan kerja sama di bidang pariwisata antara pemerintah Indonesia dan UEA pada tahun 2021, khususnya untuk pengembangan Aceh Singkil, yang dijajaki oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Laporan Tempo pada Jumat, 5 Maret 2021, menyebutkan bahwa kerja sama investasi ini disepakati dalam acara Business Forum Indonesia-Emirates Amazing Weeks yang diadakan di Jakarta, dihadiri oleh Menteri Energi dan Infrastruktur UEA Suhail Al Mazroui serta para pelaku bisnis. Luhut menyatakan bahwa Indonesia, yang diwakili Gubernur Aceh, bersama para pelaku usaha telah menandatangani surat pernyataan minat atau letter of intent (LOI), dengan nilai investasi proyek mencapai US$ 300-500 miliar. Kerja sama ini mencakup pembangunan resor di pulau-pulau kosong yang diharapkan dapat menarik kedatangan wisatawan UEA.

Menelisik Kebenaran Potensi Migas

Terkait dengan kabar potensi migas yang santer beredar, Muhammad Alkaf berpendapat bahwa isu ini merupakan bagian dari memori kolektif masyarakat Aceh terhadap konflik historis mereka. Alkaf mengingatkan kembali tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Muhammad di Tiro sejak tahun 1976, yang salah satu penyebab kemunculannya adalah keresahan warga Aceh akibat pengelolaan SDA oleh pemerintah pusat yang dianggap tidak menyejahterakan. GAM sendiri membubarkan sayap militernya tak lama setelah Perjanjian Perdamaian Helsinki dengan pemerintah Indonesia ditandatangani pada Senin, 15 Agustus 2005. “Sebab, bagi orang Aceh, mungkin ya, kalau saya sebagai orang Aceh melihat memang ada sensitivitas, romansa, dan romantisisme itu. Ditambah frustasi terhadap kondisi material hari ini,” kata Alkaf.

Meskipun demikian, adanya potensi migas di perairan Aceh memang pernah dilaporkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Jumat, 22 Juli 2022. Potensi tersebut teridentifikasi di Wilayah Kerja (WK) Andaman, yang terdiri dari tiga blok: Andaman I (saat itu dikelola Mubadala Petroleum), Andaman II (oleh Premier Oil), dan Andaman III (oleh Repsol). Ketiga blok ini diperkirakan menyimpan cadangan minyak rata-rata 6 triliun kaki kubik (TCF). Lokasinya yang strategis di kawasan perairan laut utara Indonesia, berdekatan dengan perairan Thailand, berpotensi menjadikannya temuan migas terbesar di dunia jika pengeboran lanjutan membuahkan hasil positif.

Menanggapi dugaan ini, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Dirjen Adwil) Kemendagri Safrizal Zakaria Ali dalam konferensi pers di Kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu, 11 Juni 2025, secara tegas menampik adanya kaitan antara potensi migas dengan keputusan Kemendagri. “Kami tidak tahu menahu bahwa ada potensi migas segala macam, tidak merupakan konsen dari tim pembakuan rupabumi, karena betul-betul berdasarkan standar yang dibangun,” ucap Safrizal, menegaskan bahwa keputusan tersebut murni berdasarkan standar administrasi wilayah.

Hendrik Khoirul Muhid, Daniel Ahmad Fajri, Lil Askar Mondza, dan Mei Leandha berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Surat Petani Food Estate Ria-Ria kepada Pemerintah di Jakarta

Ringkasan

Sengketa kepemilikan empat pulau strategis—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—memuncak antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan keempat pulau tersebut, yang sebelumnya secara administratif di Aceh, kini resmi menjadi bagian dari Sumatera Utara melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138/2025. Keputusan kontroversial ini, yang dirilis pada 25 April 2025, menuai sorotan tajam dan diduga bermuatan politik serta kepentingan bisnis.

Pulau-pulau ini diduga kaya sumber daya alam strategis, termasuk potensi cadangan minyak dan gas bumi (migas) serta perikanan tangkap yang tinggi. Selain itu, mereka memiliki potensi multi-aspek seperti lokasi geografis vital untuk pelayaran dan prospek besar sebagai tujuan ekowisata atau konservasi laut, dengan rencana investasi dari Uni Emirat Arab untuk pariwisata. Meskipun demikian, Kemendagri menampik dugaan kaitan keputusan dengan potensi migas, menegaskan bahwa penetapan tersebut murni berdasarkan standar administrasi kewilayahan.

Baca Juga

Bagikan:

Tags