Pagi itu, udara belum terlalu panas. Langit Sedikit mendung, tapi tidak menakutkan.
Di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, seorang pemuda bernama Raka memutuskan untuk pergi berjalan kaki menyusuri jalan panjang yang belum pernah ia lewati sebelumnya.
Bukan karena ia punya tempat tertentu untuk dituju, tapi karena ia merasa hatinya sudah terlalu lama diam di tempat yang sama.
Raka sudah melewati banyak hal dalam hidup. Ia pernah bercita-cita jadi dokter, lalu berubah ingin jadi seniman, dan sekarang ia sendiri tidak tahu lagi siapa dirinya.
Semua orang di sekitarnya seperti sudah punya peta hidup yang jelas. Sedangkan dia? Seperti pejalan kaki tanpa peta, hanya mengandalkan insting dan angin.
“Kenapa kamu jalan kaki?” tanya seorang ibu tua di warung pinggir jalan.
“Karena aku ingin merasa hidup,” jawab Raka.
Ibu itu tertawa, bukan mengejek, tapi seperti paham. Lalu ia memberinya segelas teh manis dan sepotong roti. “Jangan buru-buru sampai. Nikmati tiap langkahmu, Nak.”
Perjalanan Raka terus berlanjut. Ia bertemu petani yang ramah, anak kecil yang berlari-lari sambil tertawa, dan kadang, ia cuma duduk di bawah pohon, mendengarkan dedaunan bergesekan. Semua itu memberi rasa yang tidak ia temukan di kota.
Dulu, ia berpikir hidup harus sukses, harus sampai ke puncak, harus kaya dan dikenal.
Tapi selama perjalanan ini, ia sadar: hidup bukan tentang sampai di mana, tapi tentang bagaimana kau menjalani langkah-langkahmu.
Tentang siapa yang kau temui, pelajaran yang kau dapat, luka yang kau obati, dan tawa yang kau bagi.
Ia pernah tersesat. Di tengah hutan, tanpa sinyal, tanpa cahaya. Tapi di situlah ia belajar menyalakan cahaya dari dalam dirinya.
Ia pernah kelelahan, ingin berhenti. Tapi seorang bapak tua menyodorkan air dan berkata, “Istirahat boleh, asal jangan menyerah.”
Raka mencatat setiap pengalaman di buku kecilnya. Bukan untuk dibaca orang lain, tapi untuk dirinya sendiri.
Sebagai pengingat bahwa tiap langkah punya cerita. Dan bahwa ia pernah hidup, benar-benar hidup.
Saat suatu hari ia sampai di sebuah puncak bukit, ia melihat matahari terbit dengan indahnya. Ia duduk, menarik napas panjang, lalu tersenyum.
Aku tidak tahu ke mana harus melangkah setelah ini, gumamnya, “tapi itu tidak masalah.”
Ia tahu, hidup ini bukan soal tiba di tujuan. Tapi soal belajar dari setiap perjalanan.
Soal jatuh dan bangkit, soal kehilangan dan menemukan, soal mencintai dan melepaskan.
Hidup adalah tentang menjemput pagi meski malam belum sepenuhnya pergi.
Tentang berani melangkah meski tak tahu pasti akan sampai di mana.
Tentang percaya bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, tetap berarti.
Raka tidak lagi takut akan masa depan. Karena kini ia paham: tujuan akan datang sendiri, selama kau mau terus berjalan.