Krisis industri tekstil nasional semakin dalam. KORPS Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil menuding peningkatan kuota impor benang dan kain sebagai biang keladi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan penutupan pabrik tekstil di dalam negeri.
“Banyak perusahaan yang gulung tikar dan terpaksa melakukan PHK karena tidak sanggup bersaing dengan serbuan barang impor,” tegas Direktur Eksekutif KAHMI Rayon Tekstil, Agus Riyanto, dalam keterangan tertulis yang dirilis pada hari Selasa, 19 Agustus 2025.
Data dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) menunjukkan betapa suramnya kondisi industri ini. Dalam dua tahun terakhir, sedikitnya 60 perusahaan tekstil dalam negeri kolaps, mengakibatkan sekitar 250 ribu pekerja dirumahkan. Angka ini mencerminkan dampak signifikan dari persaingan yang semakin ketat.
Agus Riyanto menyoroti tren peningkatan kuota impor tekstil yang terjadi setiap tahun sejak 2016. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2016, impor benang hanya sebesar 230 ribu ton dan kain sebesar 724 ribu ton.
Namun, dalam kurun waktu delapan tahun, terjadi lonjakan signifikan. Pada tahun 2024, impor benang mencapai 462 ribu ton dan kain mencapai 939 ribu ton. “Artinya, kuota impor yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) secara nyata telah menggerogoti pangsa pasar produk lokal di pasar domestik,” ujar Agus, menjelaskan dampak langsung kebijakan tersebut terhadap industri dalam negeri.
Ironisnya, menurut Agus, peningkatan kuota impor tekstil ini tidak dinikmati oleh seluruh pengusaha. Banyak pengusaha tekstil yang mengeluhkan bahwa mereka hanya mendapatkan kuota impor yang jauh di bawah kapasitas produksi mereka, bahkan kurang dari sepertiga dalam setahun. Ketidakmerataan ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan keadilan dalam pembagian kuota impor.
Menanggapi keluhan tersebut, Agus menduga bahwa Kementerian Perindustrian (Kemenperin) hanya memberikan kuota impor kepada pengusaha tertentu saja. Ia menuding bahwa hanya segelintir pemilik modal, sekitar empat orang yang memiliki belasan perusahaan, yang mengantongi Angka Pengenal Importir Produsen (API-P). Dugaan ini memicu kecurigaan adanya praktik monopoli dan ketidakadilan dalam sistem kuota impor.
Lebih lanjut, Agus menjelaskan bahwa masalah kuota impor ini menjadi penyebab utama keterpurukan industri tekstil. Ia mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal Apsyfi, Farhan Aqil Syauqi, yang menyebutkan bahwa kontribusi sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami penurunan setiap tahunnya.
Data menunjukkan penurunan yang mengkhawatirkan. Kontribusi sektor TPT terhadap PDB menyusut dari 1,16 persen pada 2016 menjadi hanya 0,99 persen pada 2024. Selain itu, neraca perdagangan TPT juga mengalami penurunan, dari US$ 3,6 miliar pada 2016 menjadi US$ 2,4 miliar pada 2024. Penurunan ini mengindikasikan melemahnya daya saing industri tekstil Indonesia di pasar global.
Meskipun BPS mencatat pertumbuhan industri TPT sebesar 4,35 persen di kuartal II 2025 secara tahunan, Aqil Syauqi menegaskan bahwa lembaga tersebut tidak memperhitungkan impor ilegal yang seharusnya mengurangi perhitungan PDB. Perbedaan data ini menimbulkan pertanyaan tentang akurasi dan validitas statistik yang digunakan untuk mengukur kinerja industri tekstil.
Aqil Syauqi bahkan menduga kuat adanya mafia kuota impor tekstil. Terlebih lagi, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menolak usulan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk benang filamen. Ia mendesak agar dugaan praktik mafia kuota impor ini diselidiki secara tuntas.
Tempo telah berupaya untuk mendapatkan tanggapan dari juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, terkait tuduhan mafia kuota impor tekstil. Namun, hingga artikel ini diterbitkan, Febri belum memberikan respons terhadap pesan yang dikirimkan melalui aplikasi perpesanan WhatsApp.
Oyuk Ivani Siagian berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Makin Banyak Pekerja di Sektor Informal
Ringkasan
Industri tekstil nasional mengalami krisis yang ditandai dengan PHK massal dan penutupan pabrik, yang menurut KAHMI Rayon Tekstil disebabkan oleh peningkatan kuota impor benang dan kain. Data Apsyfi menunjukkan bahwa sekitar 60 perusahaan tekstil kolaps dalam dua tahun terakhir, menyebabkan sekitar 250 ribu pekerja dirumahkan.
KAHMI menyoroti lonjakan impor tekstil sejak 2016 yang menggerogoti pangsa pasar lokal, sementara pengusaha mengeluhkan pembagian kuota yang tidak merata, diduga hanya menguntungkan segelintir pemilik modal. Kontribusi sektor TPT terhadap PDB dan neraca perdagangan TPT juga mengalami penurunan, mengindikasikan melemahnya daya saing industri tekstil Indonesia.