Rancak Media JAKARTA. Indonesia kini menghadapi tantangan baru dalam dinamika perdagangan internasional setelah Amerika Serikat (AS) resmi memberlakukan tarif impor sebesar 19% terhadap produk-produk dari Tanah Air, terhitung sejak 7 Agustus 2025 lalu. Di sisi lain, Indonesia justru memberikan pembebasan tarif untuk produk-produk asal AS. Kesepakatan dagang antara Indonesia dan AS ini, menurut para analis, dapat membawa keuntungan atau justru berbalik merugikan bagi sektor-sektor tertentu dalam negeri.
Menurut Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan, pemberlakuan tarif ini berpotensi besar menekan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar AS. Implikasinya bisa berupa penurunan volume ekspor, penggerusan margin keuntungan, serta berkurangnya pangsa pasar di AS karena para pembeli kemungkinan akan beralih ke negara-negara dengan tarif yang lebih rendah. “Emiten yang pasar ekspornya sangat bergantung ke AS, misalnya tekstil dan garmen, furnitur, atau alas kaki, serta beberapa produk olahan karet dan komponen elektronik, akan merasakan tekanan paling besar,” jelas Felix kepada Kontan, pada Senin (11/8/2025).
Namun, tidak semua sektor merasakan dampak negatif yang sama. Felix Darmawan mencatat, produsen yang fokus pada pasar domestik atau berorientasi ekspor ke negara selain AS, seperti komoditas minyak mentah kelapa sawit (CPO), nikel, dan batubara, cenderung lebih aman. Hal ini karena mayoritas ekspor komoditas-komoditas tersebut ditujukan ke pasar Tiongkok dan India. Senada dengan pandangan ini, Head of Investor Relation PT Sampoerna Agro (SGRO), Stefanus Darmagiri, mengonfirmasi bahwa industri CPO tidak terdampak langsung, mengingat SGRO memfokuskan pasarnya di ranah domestik. Sepanjang tahun 2024 dan semester I 2025, Stefanus mengakui seluruh ekspor SGRO ditujukan untuk pasar Tanah Air, yang bahkan turut mendongkrak penjualan SGRO di semester I 2025 sebesar 45,18% secara tahunan menjadi Rp 3,29 triliun.
IHSG Terpengaruh Pemberlakuan Tarif Trump, Simak Rekomendasi Analis
Dalam situasi yang berbeda, Wakil Direktur Utama PT Selamat Sempurna Tbk (SMSM), Ang Andri Pribadi, menjelaskan bahwa produk ekspor SMSM tidak termasuk dalam daftar komoditas yang dikenai tarif 19% yang baru. Ini karena produk mereka telah lebih dulu dikenakan tarif di bawah ketentuan Section 232 dalam pedoman resmi US Customs and Border Protection, dengan total tarif sebesar 27,5%. Oleh karena itu, produk ekspor SMSM tidak terdampak tambahan beban tarif tersebut. “Dalam jangka pendek, struktur tarif yang berlaku saat ini justru memberikan keunggulan kompetitif bagi perseroan, mengingat tingkat tarif efektif SMSM relatif lebih rendah dibandingkan dengan beberapa eksportir lain yang baru terkena dampak dari kebijakan tarif 19%,” terang Ang. Tercatat, nilai ekspor SMSM ke AS hingga semester I 2025 mencapai Rp 273,85 miliar, meningkat dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 240,66 miliar. Selain AS, SMSM juga aktif mengekspor produknya ke Australia, Malaysia, Thailand, Jepang, Prancis, Singapura, Uni Emirat Arab, Belgia, dan Jerman.
Simak Prospek dan Rekomendasi Saham Emiten CPO di Tengah Isu Tarif Trump
Meskipun besaran tarif masih menjadi beban bagi eksportir Indonesia, Analis NH Korindo Sekuritas, Steven Willie, berpendapat bahwa posisi Indonesia justru lebih kompetitif dibandingkan dengan Vietnam yang dikenai tarif 20%. Meskipun eksportir dengan margin tipis akan tertekan, Steven melihat peluang keuntungan bagi eksportir tembaga olahan seperti PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), mengingat AS melabeli 0% tarif terhadap komoditas ini. Lebih lanjut, emiten ritel dan distributor produk impor AS seperti PT Metrodata Electronics Tbk (MTDL), PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), dan PT MAP Aktif Adiperkasa Tbk (MAPA) juga berpotensi diuntungkan karena potensi harga barang masuk yang lebih murah. “Akses bebas tarif untuk jagung dan bungkil kedelai AS yang memangkas biaya pakan juga akan menguntungkan integrator unggas seperti PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), dan produsen makanan pokok seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR),” urai Steven.
Tarif Impor ke AS 19%, Ini Sektor dan Saham yang Diuntungkan dan Dirugikan
Untuk menjaga nilai tambah produk tidak menguap, Felix Darmawan menyarankan agar emiten-emiten yang rentan segera mendiversifikasi pasar ekspor mereka ke negara-negara dengan tarif rendah atau yang tergabung dalam perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang lebih menguntungkan. Selain itu, peningkatan efisiensi produksi dan nilai tambah produk, melalui inovasi desain, penguatan posisi merek, atau sertifikasi yang meningkatkan daya jual premium, juga menjadi langkah krusial. Steven Willie menambahkan, pemerintah perlu berperan aktif dengan menegosiasikan tarif terhadap produk sektor lain, seraya menyuntikkan insentif fiskal atau pengembalian sebagian atau seluruh pajak (tax rebate) bagi eksportir yang terdampak. “Perkuat juga proteksi pasar domestik dari banjir impor AS,” sarannya. Dengan berbagai sentimen ini, Steven menilai saham-saham yang disebutkan sebelumnya masih layak dikoleksi. Namun, khusus untuk saham ERAA dan MAPI, ia merekomendasikan speculative buy.
Ringkasan
Indonesia kini menghadapi tantangan baru setelah Amerika Serikat (AS) memberlakukan tarif impor sebesar 19% terhadap produk Indonesia sejak 7 Agustus 2025, sementara Indonesia membebaskan tarif untuk produk AS. Kebijakan ini berpotensi menekan daya saing ekspor Indonesia di pasar AS. Sektor seperti tekstil, garmen, furnitur, alas kaki, produk karet, dan komponen elektronik diperkirakan paling merasakan dampaknya, berimplikasi pada penurunan volume ekspor dan margin keuntungan.
Di sisi lain, tidak semua sektor terdampak negatif; komoditas seperti CPO, nikel, dan batubara yang mayoritas diekspor ke Tiongkok dan India cenderung aman. Produsen tembaga olahan juga diuntungkan dengan tarif 0% dari AS, begitu pula emiten ritel produk impor AS dan integrator unggas dari akses jagung/bungkil kedelai bebas tarif. Untuk menjaga nilai tambah, emiten rentan disarankan mendiversifikasi pasar dan meningkatkan efisiensi, sementara pemerintah didorong menegosiasikan tarif dan memberikan insentif.