Celios Ungkap Kelemahan Data Pertumbuhan Ekonomi BPS, Apa Saja?

Nautonk

Advertisement

Sorotan tajam mengiringi rilis Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 yang diklaim mencapai 5,12 persen. Angka tersebut sontak memicu gelombang keraguan di kalangan ekonom dan lembaga riset, yang menilai temuan BPS jauh dari realitas kondisi di lapangan.

Center of Economic and Law Studies (Celios), salah satu lembaga yang menyuarakan skeptisisme ini, secara blak-blakan menyoroti potensi manipulasi data. Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, pada Ahad, 10 Agustus 2025, mengungkapkan bahwa praktik manipulasi data semacam ini sering ditemukan di negara-negara komunis sosialis, di mana kendali penuh atas informasi memungkinkan intervensi terhadap angka-angka resmi. Nailul bahkan merujuk pada skandal manipulasi data di Tiongkok pada tahun 2021 yang menyeret nama pimpinan Bank Dunia. Skandal itu melibatkan laporan “Ease of Doing Business (EoDB)” atau kemudahan berusaha, yang disinyalir telah diotak-atik demi kepentingan bisnis Tiongkok, sebagaimana terungkap dalam investigasi firma hukum Wilmerhale.

Lebih lanjut, Nailul Huda juga mencontohkan Korea Utara yang diduga kuat menutupi data ekonomi riilnya, mengindikasikan adanya manipulasi data karena otoritas negara tersebut memiliki kekuasaan mutlak. Ia menegaskan bahwa praktik manipulasi data semacam ini sangat membahayakan proses pengambilan keputusan oleh para pemangku kebijakan. Data yang dimanipulasi untuk menampilkan citra yang lebih baik atau yang tidak sesuai dengan realitas di lapangan, menurut Nailul, akan berujung pada kebijakan yang tidak valid dan jauh dari sasaran yang efektif.

Advertisement

Konteks keraguan ini muncul setelah BPS pada awalnya mengumumkan bahwa ekonomi Indonesia triwulan II 2025 tumbuh 5,12 persen secara tahunan, atau naik 4,04 persen dibandingkan triwulan I 2025. Menanggapi tudingan manipulasi data, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada Selasa, 5 Agustus 2025, dengan tegas membantah adanya permainan angka. “Mana ada (permainan data),” ujar Airlangga kepada awak media di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta.

Celios Minta PBB Audit Laporan BPS

Gelombang keraguan ini kian memuncak saat Celios secara resmi meminta Badan Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengaudit data pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 yang dilaporkan BPS. Permintaan ini dilayangkan karena Celios melihat adanya indikasi perbedaan signifikan antara angka pertumbuhan ekonomi 5,12 persen dengan kondisi perekonomian riil di lapangan.

Melalui surat permohonan penyelidikan yang ditujukan kepada lembaga statistik PBB, yaitu United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menjelaskan alasan di balik langkah tegas mereka. Bhima menyatakan bahwa tujuan utama Celios adalah menjaga kredibilitas data BPS, yang menjadi rujukan penting bagi berbagai pihak, mulai dari lembaga akademis, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM, hingga masyarakat luas untuk berbagai penelitian dan pengambilan keputusan.

“Surat yang dikirim ke PBB memuat permintaan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2025 yang sebesar 5,12 persen year-on-year,” terang Bhima dalam keterangan resminya pada Jumat, 8 Agustus 2025. Bhima menambahkan, Celios telah mencermati kembali berbagai indikator yang dirilis BPS, termasuk data industri manufaktur. Meskipun BPS melaporkan bahwa lapangan usaha industri pengolahan tumbuh signifikan sebesar 5,68 persen pada kuartal kedua 2025, Bhima menemukan fakta kontras: pada periode yang sama, aktivitas manufaktur yang diukur melalui Purchasing Manager’s Index (PMI) justru mengalami kontraksi.

Selain itu, porsi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga tercatat rendah, yaitu 18,67 persen pada triwulan II 2025, menurun dari 19,25 persen pada triwulan I 2025. Bhima menafsirkan angka ini sebagai indikasi berlanjutnya deindustrialisasi prematur di Indonesia, diperparah dengan meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan tertekannya industri padat karya akibat kenaikan biaya operasional. “Jadi, apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68 persen yoy? Data yang tidak sinkron ini tentu harus dijawab dengan transparansi,” tegas Bhima, menuntut penjelasan dari BPS.

Menyikapi hal ini, Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar turut angkat bicara. Ia menekankan bahwa jika terdapat tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data BPS, hal tersebut secara terang-terangan bertentangan dengan Fundamental Principles of Official Statistics, prinsip dasar yang telah diadopsi oleh Komisi Statistik PBB.

Media Wahyudi Askar menjelaskan bahwa data BPS bukan sekadar angka teknis, melainkan memiliki dampak langsung terhadap kredibilitas internasional Indonesia serta kesejahteraan rakyat. “Data ekonomi yang tidak akurat, terutama jika angka pertumbuhan dilebih-lebihkan, berpotensi menyesatkan pengambilan kebijakan. Bayangkan, dengan data yang keliru, pemerintah bisa saja menunda stimulus, subsidi, atau perlindungan sosial karena menganggap ekonomi dalam kondisi baik-baik saja,” papar Media. Oleh karena itu, Celios menaruh harapan besar agar badan statistik PBB segera menginvestigasi metode penghitungan PDB Indonesia pada triwulan II 2025. Lembaga penelitian ekonomi ini juga mendesak UNSD dan UN Statistical Commission untuk mendorong pembentukan mekanisme peer-review yang melibatkan pakar independen, serta mendukung reformasi transparansi di dalam tubuh BPS demi memastikan keakuratan dan kepercayaan publik terhadap data resmi negara.

Pilihan Editor: Mengapa Utang Kereta Cepat Sulit Lunas

Ringkasan

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen, namun angka ini diragukan oleh Center of Economic and Law Studies (Celios). Celios menyoroti potensi manipulasi data, praktik yang sering ditemukan di negara komunis sosialis dan membahayakan pengambilan kebijakan. Meskipun demikian, Menteri Koordinator Perekonomian membantah adanya permainan data tersebut.

Melihat indikasi perbedaan signifikan antara angka BPS dan kondisi riil, Celios secara resmi meminta Badan Statistik PBB untuk mengaudit data pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025. Celios menyoroti inkonsistensi seperti pertumbuhan industri manufaktur yang dilaporkan BPS bertolak belakang dengan kontraksi PMI. Mereka menegaskan bahwa data tidak akurat melanggar prinsip statistik internasional dan dapat menyesatkan kebijakan, mendesak reformasi transparansi di BPS.

Advertisement

Baca Juga

Tags