Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2025 yang mencapai 5,12 persen, diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kini menjadi sorotan tajam dan memicu keraguan di kalangan ekonom serta lembaga riset. Angka ini secara signifikan melampaui pertumbuhan kuartal I yang tercatat 4,87 persen, namun kontras dengan sejumlah indikator ekonomi lainnya.
Menyikapi hal tersebut, Universitas Paramadina secara resmi mengajak para akademikus dan ilmuwan untuk turut aktif mengawal kualitas data BPS di seluruh Indonesia. Desakan ini datang sebagai respons atas pertanyaan yang muncul mengenai angka pertumbuhan 5,12 persen di tengah pelemahan daya beli masyarakat, konsumsi rumah tangga yang stagnan, pesimisme di kalangan produsen, serta gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor. Bagi Universitas Paramadina, pengawalan data BPS adalah pijakan krusial menuju Indonesia yang maju dan sejahtera.
Dalam pernyataannya pada Sabtu, 9 Agustus 2025, Universitas Paramadina mendesak BPS untuk memberikan penjelasan yang terbuka kepada publik. Ada tiga poin utama yang diminta: pertama, transparansi metodologi dan asumsi perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB), termasuk sumber data, pembobotan sektor, dan metode estimasi yang harus bisa diverifikasi oleh berbagai pihak. Kedua, penjelasan komprehensif mengenai kesenjangan antara data pertumbuhan ekonomi versi BPS dengan indikator ekonomi sektoral yang justru menunjukkan perlambatan. Ketiga, komitmen kuat BPS untuk menjaga independensinya dari segala bentuk tekanan atau intervensi pihak manapun.
Universitas Paramadina menekankan bahwa revisi data adalah hal yang lazim dan bagian dari ranah akademis serta teknokratis yang seharusnya diapresiasi. Namun, jika BPS memilih untuk menutup diri, kredibilitasnya akan terancam dan statistik berisiko bergeser dari ranah akademik ke ranah politik, suatu realita yang buruk. Dalam skenario tersebut, BPS pun akan kehilangan kepercayaan publik.
Keraguan yang meluas terhadap data BPS turut mendorong langkah konkret dari Center of Economic and Law Studies (Celios). Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengirimkan surat permohonan penyelidikan kepada lembaga statistik PBB, yakni United Nations Statistic Division dan United Nations Statistical Commission. Tujuan utama permohonan audit ini adalah untuk menjaga integritas dan kredibilitas data BPS yang merupakan fondasi penting bagi perencanaan kebijakan.
Bhima menyoroti salah satu kejanggalan, yaitu klaim BPS mengenai pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan sebesar 5,68 persen pada kuartal kedua 2025. Padahal, pada periode yang sama, aktivitas manufaktur yang diukur lewat Purchasing Manager’s Index (PMI) justru mencatat kontraksi. “Jadi apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68 persen year on year? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi,” tegas Bhima dalam keterangan resminya pada Jumat, 8 Agustus 2025, menegaskan pentingnya penjelasan rinci dari BPS.
Selain Universitas Paramadina dan Celios, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga menyuarakan pertanyaan serupa. Indef menilai angka pertumbuhan ekonomi 5,12 persen yang diumumkan BPS melampaui sebagian besar prediksi dan berlawanan dengan setidaknya 12 indikator ekonomi utama yang justru mengindikasikan pelemahan pada triwulan kedua atau dalam semester pertama 2025 dibandingkan periode yang sama di tahun 2024.
Ekonom senior M. Fadhil Hasan, dalam diskusi publik “Tanggapan atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025” di kantornya pada Rabu, 6 Agustus 2025, mengungkapkan bahwa proyeksi umum para ekonom menempatkan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 di kisaran 4,8 persen atau di bawah 5 persen. Ia menambahkan bahwa proyeksi para ekonom pada umumnya hanya memiliki perbedaan minimal dengan realisasi, semakin memperkuat keraguan terhadap angka BPS.
Menanggapi tudingan adanya “permainan data” yang beredar, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan tegas membantahnya. “Mana ada (permainan data),” ucap Airlangga kepada wartawan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, pada Selasa, 5 Agustus 2025. Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan bahwa berdasarkan data BPS, konsumsi rumah tangga menunjukkan pertumbuhan tinggi sebesar 4,97 persen secara tahunan. Adapun pengeluaran konsumsi rumah tangga berkontribusi signifikan hingga 54,25 persen terhadap Produk Domestik Bruto.
Hingga berita ini ditulis, upaya Tempo untuk meminta tanggapan dari Wakil Kepala BPS Sonny Harry Harmadi dan Unit Kerja Kepala Statistik Bidang Media dan Komunikasi BPS Eko Rahmadian belum membuahkan hasil, keduanya belum memberikan respons.
Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Jika Data BPS Tak Bisa Dipercaya
Ringkasan
Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal kedua 2025 yang diumumkan BPS sebesar 5,12 persen memicu keraguan luas dari kalangan ekonom dan lembaga riset. Angka ini kontras dengan sejumlah indikator ekonomi lain seperti pelemahan daya beli dan gelombang PHK. Menanggapi ini, Universitas Paramadina mengajak akademisi mengawal kualitas data BPS, menuntut transparansi metodologi, penjelasan kesenjangan data, dan independensi BPS.
Keraguan terhadap data BPS juga disuarakan oleh Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), yang menemukan ketidaksesuaian data sektoral. Contohnya klaim pertumbuhan industri pengolahan BPS berlawanan dengan kontraksi PMI manufaktur. Meski Menko Perekonomian menepis tudingan “permainan data”, BPS sendiri belum memberikan tanggapan resmi terkait sorotan ini.