Rancak Media – , Jakarta -Pelemahan daya beli 30 persen kelompok menengah atas sejak 2024 menekan konsumsi agregat nasional. Chief Economist Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Dzulfian Syafrian menyatakan, kelompok masyarakat terkaya yang selama ini menjadi motor utama konsumsi, kini mulai mengurangi pengeluaran. “Kelompok masyarakat ini menguasai lebih dari separuh konsumsi nasional,” kata Dzulfian dalam keterangan resmi, Sabtu, 2 Agustus 2025.
Menurutnya, konsumsi agregat, yakni total pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa, akan terus turun jika daya beli kelompok atas tidak pulih. Ia menyebut dampaknya meluas ke berbagai sektor dan wilayah, memperlambat aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Dzulfian menjelaskan, pelemahan daya beli turut memicu penurunan permintaan kredit dan perlambatan pertumbuhan simpanan. Fenomena ini terjadi di tengah kenaikan biaya dana dan prospek ekspansi kredit yang kian menantang.
Perbanas mengkaji gejala tersebut lewat data SUSENAS 2024 dalam laporan Perbanas Review of Indonesia’s Mid-Year Economy (PRIME) 2025. Kajian ini dipaparkan dalam seminar bertajuk “Navigating Economic Headwinds: Responding to Weakening Consumption”.
Ia menilai konsumsi dari kelas menengah bawah belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan karena efek penggandanya relatif kecil, meski konsumsinya cenderung stabil. Dzulfian merekomendasikan stabilisasi ekspektasi publik lewat kejelasan arah kebijakan fiskal-moneter dan penetapan suku bunga yang kredibel.
Ia juga menyarankan agar bantuan pemerintah dikaitkan dengan program produktif, khususnya untuk kelompok berpendapatan rendah. Selain itu, ia mendorong penguatan permintaan domestik melalui peningkatan mobilitas ekonomi kelas bawah. “Hal ini perlu didorong juga dengan integrasi data pengeluaran, utang, dan tabungan masyarakat ke sistem statistik nasional,” ujarnya.
Fenomena pelemahan konsumsi ini turut tercermin dalam istilah populer di media sosial yaitu, rojali (rombongan jarang beli) dan rohana (rombongan hanya nanya). Kedua istilah ini mencerminkan perubahan perilaku konsumsi masyarakat akibat daya beli yang menurun.
Bahkan, Ketua Bidang Perdagangan Apindo, Anne Patricia Sutanto, memperkenalkan istilah baru, robeli (rombongan benar-benar beli). Ia menekankan pentingnya daya saing produk domestik untuk mendorong konsumsi. “(Sehingga) tidak menjadi rohana-rojali, tapi menjadi robeli atau rombongan benar beli,” kata Anne.
Analis kebijakan ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, optimistis gejala rojali-rohana akan mereda seiring pemulihan daya beli dan pertumbuhan ekonomi. “Rojali dan rohana ini nanti dengan sendirinya mulai hilang dan mulai berbelanja saat kemampuan daya beli mereka naik, dan pertumbuhan ekonomi kita bisa bertumbuh sesuai dengan harapan,” ujarnya dalam konferensi pers di kantor Apindo, Jakarta, Selasa, 29 Juli 2025.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menilai fenomena rojali-rohana menunjukkan masyarakat mulai memilah belanja karena keterbatasan uang. “Hal ini juga bisa terjadi karena penurunan daya beli,” katanya, Ahad, 27 Juli 2025.
Sebelumnya, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengusulkan penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) untuk mengatasi fenomena tersebut. “Faktor masalah daya beli ini sudah terjadi cukup lama sejak 2024. Jadi stimulus ataupun insentif yang diberikan oleh pemerintah itu harus yang sifatnya langsung,” kata Ketua Umum APPBI Alphonsus Widjaja, Rabu, 23 Juli 2025.
Ia menyebut penurunan konsumsi masyarakat kelas menengah atas dipengaruhi sikap hati-hati dalam belanja, terutama saat ekonomi global tak menentu. Di sisi lain, kelas menengah bawah juga mulai menahan konsumsi.
Meski demikian, Alphonsus mencatat kunjungan ke pusat belanja tetap tumbuh, meski tak signifikan. Ia memperkirakan pertumbuhannya sekitar 10 persen, masih di bawah target tahun lalu sebesar 20-30 persen.
Ia menambahkan, tanda-tanda rojali sudah muncul sejak Ramadan 2024 dan makin terasa pasca-Idul Fitri, yang semestinya menjadi momen puncak penjualan ritel. “Sebab, Ramadan dan Idul Fitri-nya maju. Itulah juga salah satu faktor yang menambah intensitas jumlah rojali,” ujarnya.
Alphonsus juga mengonfirmasi fenomena ini berdampak pada penurunan omzet ritel. “Masyarakat kelas menengah bawah cenderung membeli produk yang harga satuannya murah,” ujarnya.
Ananda Ridho Sulistya, Michelle Gabriela, Amira Nada, Yolanda Agne, dan Alfitria Nefi P. berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Argo Bromo Anggrek Anjlok, 9 Kereta Surabaya-Jakarta Dibatalkan