Rancak Media JAKARTA. Mata uang dolar AS menunjukkan kekuatannya dengan melonjak ke level tertinggi dalam dua bulan terakhir. Indeks dolar AS (DXY) berhasil bertahan di kisaran 100 pada Jumat (1/8/2025), sebuah indikasi dominasi dolar terhadap mata uang global lainnya, termasuk di kawasan Asia.
Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyoroti bahwa penguatan dolar AS tidak hanya terjadi terhadap mata uang Asia, tetapi juga mata uang utama dunia. Menurut Lukman, tekanan pada mata uang Asia diperkirakan akan berlanjut dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan oleh sifat kesepakatan perdagangan Amerika Serikat dengan India, Korea, dan Jepang yang masih cenderung tidak seimbang.
Senada, Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo, menilai bahwa penguatan dolar AS ini berdampak signifikan pada mata uang negara-negara Asia, terutama pasar berkembang. Ketika dolar menguat, mata uang lokal di Asia cenderung melemah, menyebabkan biaya impor meningkat dan berpotensi memicu tekanan inflasi. Selain itu, negara-negara dengan utang luar negeri dalam denominasi dolar AS akan menghadapi beban pembayaran yang lebih besar.
Indeks Dolar AS Lanjut Menguat, Bagaimana Prospek Mata Uang Asia?
Sutopo mencontohkan, fenomena ini tampak jelas dengan dolar AS yang mencapai level tertinggi empat bulan terhadap yen Jepang. Ini menjadi sinyal kuat bahwa tekanan tidak hanya dirasakan oleh pasar berkembang, melainkan juga oleh mata uang utama di Asia. Dengan demikian, volatilitas di pasar akan tetap tinggi dalam jangka pendek.
Meskipun demikian, Lukman melihat sentimen di pasar ekuitas masih positif terhadap mata uang Asia dalam jangka panjang. Ia menjelaskan bahwa pelemahan mata uang Asia sangat berkaitan erat dengan prospek suku bunga The Fed. Namun, pelemahan yang terjadi sudah “priced-in” atau telah diperhitungkan pasar, sehingga pelemahan ke depan diperkirakan tidak akan terlalu besar.
Lukman juga mencermati bahwa dampak dari kebijakan tarif akan tercermin pada data ekonomi AS dalam beberapa bulan mendatang. Data ini, tambahnya, berpotensi membalikkan tekanan terhadap dolar AS dan justru menguatkan mata uang Asia. Senada, Sutopo Widodo memandang prospek mata uang Asia ke depan tidak sepenuhnya suram. Ia meyakini, negara-negara yang memiliki fundamental ekonomi kuat, cadangan devisa memadai, serta kebijakan fiskal dan moneter yang pruden akan lebih tangguh menghadapi gejolak global.
Indeks Dolar Kembali ke 100, Rupiah Ambruk 1,18% Sepekan, Yen Paling Tertekan
Namun, Lukman mengingatkan bahwa nasib mata uang Asia juga sangat bergantung pada kesepakatan krusial antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Jika kedua negara tersebut gagal mencapai kesepakatan, hal ini berpotensi kembali menekan mata uang Asia. Sutopo juga menambahkan, stabilitas nilai tukar di Asia akan sangat bergantung pada seberapa cepat ketegangan perdagangan global mereda, serta bagaimana The Fed mengelola ekspektasi pasar dengan bijak.
Secara teknikal, Lukman menganalisis bahwa indeks dolar atau DXY saat ini berada di kisaran level resistan 100. Jika level ini ditembus, target resistan selanjutnya diperkirakan berada di level 102.
Ringkasan
Dolar AS menguat signifikan mencapai level tertinggi dua bulan, dengan indeks dolar AS (DXY) bertahan di kisaran 100 pada 1 Agustus 2025. Penguatan ini menekan mata uang Asia, termasuk Yen Jepang, serta mata uang utama dunia. Akibatnya, biaya impor negara-negara Asia meningkat, potensi inflasi bertambah, dan beban utang luar negeri dalam dolar AS membesar.
Meskipun tekanan diprediksi berlanjut jangka pendek, pelemahan mata uang Asia sebagian besar telah diperhitungkan pasar. Prospek jangka panjang dapat membaik seiring data ekonomi AS dan jika negara-negara Asia memiliki fundamental kuat, cadangan devisa memadai, serta kebijakan fiskal dan moneter yang pruden. Namun, nasib mata uang Asia juga sangat bergantung pada tercapainya kesepakatan perdagangan AS-Tiongkok dan meredanya ketegangan global.