PPh Kripto: Pemerintah Kesulitan Identifikasi Penambang?

Nautonk

Advertisement

Pemerintah Indonesia telah resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025, yang mengatur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto. Regulasi penting ini, yang diundangkan pada 28 Juli 2025, menandai langkah signifikan dalam kerangka perpajakan aset digital di Indonesia.

Salah satu poin krusial yang diatur dalam PMK 50/2025 adalah pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap para penambang aset kripto. Ketentuan ini secara spesifik tercantum dalam Pasal 10 huruf c dari peraturan tersebut, memperjelas posisi pemerintah mengenai pendapatan dari aktivitas penambangan aset digital.

Meskipun demikian, penerapan ketentuan pengenaan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penambang aset kripto baru akan efektif berlaku mulai tahun 2026. Ini memberikan waktu bagi para penambang dan pihak terkait untuk mempersiapkan diri menghadapi regulasi perpajakan yang baru.

Advertisement

Menanggapi hal tersebut, Christopher Tahir, Co-Founder Cryptowatch sekaligus Pengelola Kanal Duit Pintar, menyampaikan pandangannya mengenai kompleksitas pelaksanaan pemungutan PPh dari penambang aset kripto. Menurutnya, mekanisme kripto yang sangat berbeda dengan aset efek konvensional serta sifat distribusinya yang tersebar luas akan menimbulkan tantangan berarti.

Christopher menguraikan tiga poin utama yang menjadi hambatan. Pertama, identifikasi penambang aset kripto adalah tugas yang rumit mengingat sifat anonimitas dan desentralisasi ekosistem kripto. Kedua, hingga kini belum ada izin resmi atau mekanisme legal yang secara jelas menetapkan status seseorang atau badan sebagai penambang aset kripto. Ketiga, hasil dari aktivitas penambangan cenderung sulit dikendalikan atau dipantau, baik oleh penambang itu sendiri maupun oleh otoritas pemungut pajak.

“Oleh karena itu, akan sangat sulit bagi otoritas untuk melacak berapa banyak hasil penambangan yang telah dihasilkan dan berapa besar pajak yang seharusnya dikenakan,” terang Christopher kepada Kontan pada Rabu (30/7).

Perlu dicatat bahwa Pasal 24 PMK 50/2025 secara eksplisit menyatakan bahwa setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penambang aset kripto merupakan objek Pajak Penghasilan. Hal ini mempertegas komitmen pemerintah untuk mengenakan pajak pada seluruh spektrum pendapatan dari aktivitas ini.

Adapun, jenis-jenis penghasilan yang menjadi objek PPh tersebut mencakup beberapa kategori. Pertama, penghasilan berupa imbalan jasa yang diperoleh penambang aset kripto. Kedua, penghasilan yang berasal dari sistem aset kripto itu sendiri, seperti block reward, imbalan atas jasa verifikasi transaksi (transaction fee), atau bentuk penghasilan lain yang muncul dari sistem aset kripto. Ketiga, penghasilan lainnya di luar kategori yang disebutkan dalam huruf a dan huruf b Pasal 24, yang mungkin timbul dari kegiatan penambangan.

Apabila penghasilan yang diterima berupa aset kripto, maka penghasilan tersebut wajib dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah. Proses konversi ini harus didasarkan pada nilai aset kripto pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, memastikan dasar perhitungan pajak yang akurat.

Nilai konversi tersebut dapat ditentukan berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh Bursa Aset Kripto resmi, atau nilai yang tercatat dalam sistem yang dimiliki oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dipilih oleh penambang aset kripto. Penting ditekankan bahwa metode penentuan nilai ini harus diterapkan secara konsisten untuk tujuan perpajakan.

Bagi penambang aset kripto yang tidak mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam PMK ini, sanksi akan diberlakukan sesuai dengan regulasi yang tercantum dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Hal ini menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap aturan perpajakan yang baru ini.

Ringkasan

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 pada 28 Juli 2025, yang mengatur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi aset kripto. Regulasi ini secara spesifik mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) pada penambang aset kripto, sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 huruf c PMK tersebut. Ketentuan ini akan mulai berlaku efektif pada tahun 2026.

Co-Founder Cryptowatch, Christopher Tahir, menyoroti tantangan implementasi PPh bagi penambang, terutama kesulitan identifikasi, ketiadaan izin resmi, dan sulitnya memantau hasil penambangan. Pasal 24 PMK 50/2025 menegaskan bahwa seluruh penghasilan penambang aset kripto merupakan objek PPh, termasuk imbalan jasa dan block reward. Penghasilan berupa aset kripto wajib dikonversi ke Rupiah pada saat diterima berdasarkan nilai yang ditetapkan bursa aset kripto resmi.

Advertisement

Baca Juga

Tags