Rancak Media – , Jakarta – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menegaskan tidak terlalu mempermasalahkan fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya nanya (rohana) di pusat perbelanjaan. Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menyatakan bahwa keberadaan mereka tetap dianggap lebih baik daripada pusat perbelanjaan yang sepi atau kosong sama sekali. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta pada Selasa, 29 Juli 2025.
Meskipun demikian, Shinta mengakui bahwa pengusaha retail merasakan dampak signifikan dari keberadaan rojali dan rohana karena adanya penurunan permintaan yang terasa. Ia sangat berharap pemerintah dapat berperan aktif dalam mendorong daya beli masyarakat dengan memberikan berbagai bentuk insentif. Salah satu contohnya adalah melalui pemberian diskon untuk pembelian produk. Shinta menegaskan komitmen Apindo: “Kami tidak akan putus asa dan akan terus mencoba berbagai upaya agar demand dapat meningkat kembali.”
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa para pengusaha telah dan akan menginisiasi program diskon besar-besaran menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus mendatang. Shinta juga menyoroti bahwa dalam paket regulasi kebijakan pertama, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah insentif, termasuk diskon transportasi dan berbagai bantuan lainnya.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Bidang Perdagangan Apindo, Anne Patricia Sutanto, menggarisbawahi urgensi daya saing bagi produk domestik. Menurut Anne, selain mendorong peningkatan investasi, daya saing yang kompetitif juga mampu memicu daya beli masyarakat. Ia berharap, kondisi ini dapat mengubah fenomena rojana-rojali menjadi “robeli” atau rombongan benar beli, menandakan adanya transaksi riil di sektor retail.
Sementara itu, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menyoroti keterkaitan erat antara fenomena rojali dan rohana dengan konsep lipstick index. Ia menjelaskan bahwa lipstick index merujuk pada situasi ketika masyarakat cenderung membatasi konsumsi kebutuhan pokok, namun tidak ragu untuk membeli kebutuhan tersier. Ajib optimistis bahwa fenomena ini akan perlahan menghilang secara alami dan masyarakat akan mulai kembali berbelanja seiring dengan peningkatan kemampuan daya beli mereka dan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, pada Ahad, 27 Juli 2025, turut berpendapat bahwa fenomena rojali dan rohana menunjukkan adanya skala prioritas dalam berbelanja di kalangan masyarakat. Keterbatasan dana menjadi pemicu utama, sehingga tidak jarang masyarakat baru memutuskan untuk membeli sesuatu ketika ada potongan harga atau diskon. “Hal ini juga bisa terjadi karena penurunan daya beli,” tegasnya.
Senada, Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELS), Jaya Darmawan, menjelaskan bahwa fenomena ini berkaitan erat dengan perilaku ekonomi masyarakat yang sering membandingkan harga antara toko retail fisik dan gerai penjualan online. Banyak masyarakat yang sengaja datang ke mal atau supermarket hanya untuk memeriksa harga barang, namun kemudian memilih untuk membeli produk tersebut melalui platform e-commerce.
Jaya menegaskan bahwa fenomena rojali dan rohana ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah karena berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang. Apabila tren ini terus berlanjut, penurunan omzet pengusaha retail tidak dapat dihindari, yang pada akhirnya dapat berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan di sektor retail.
Untuk mengatasi hal ini, Jaya merekomendasikan pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan yang efektif, seperti menyediakan bantalan sosial atau stimulus guna meningkatkan konsumsi masyarakat. Selain itu, pemerintah juga dapat mempertimbangkan pemberian insentif, misalnya diskon tarif listrik, untuk meringankan beban operasional para pelaku industri.
Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Rojali, Rohana, dan Turunnya Daya Beli Orang Kota
Ringkasan
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan tidak terlalu mempermasalahkan fenomena “rombongan jarang beli” (rojali) dan “rombongan hanya nanya” (rohana) di pusat perbelanjaan, menganggapnya lebih baik daripada mal yang sepi. Meski mengakui dampaknya terhadap penurunan permintaan, Apindo berharap pemerintah memberikan berbagai insentif untuk mendorong daya beli masyarakat. Apindo sendiri akan menginisiasi program diskon besar, dan pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah insentif.
Fenomena ini dikaitkan dengan penurunan daya beli, prioritas belanja, dan kebiasaan membandingkan harga dengan toko daring. Beberapa ahli berpendapat bahwa ini adalah indikasi skala prioritas konsumen atau dampak dari “lipstick index”, sementara yang lain memperingatkan potensi PHK jika tren ini berlanjut. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah didorong untuk mengeluarkan kebijakan efektif seperti stimulus atau insentif guna meningkatkan konsumsi masyarakat dan meringankan beban operasional pelaku industri retail.