Rancak Media JAKARTA. Industri alat kesehatan (alkes) di Tanah Air kini bersiap menghadapi serbuan produk dari Amerika Serikat (AS), menyusul tercapainya kesepakatan tarif dagang antara kedua negara yang membuka keran impor lebih luas.
Melansir laman Gedung Putih pada Selasa (22/7), salah satu poin krusial dari kesepakatan tersebut adalah pembebasan kewajiban pelabelan dan sertifikasi produk alkes AS saat memasuki pasar Indonesia. Ini berarti proses masuknya produk-produk tersebut akan jauh lebih dipermudah.
Pernyataan resmi tersebut menguraikan, “Menerima sertifikat dari FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) dan izin edar awal untuk alat medis dan produk farmasi; menghapus beberapa kewajiban pelabelan; membebaskan ekspor kosmetik, alat kesehatan, dan produk manufaktur lainnya dari sejumlah persyaratan tertentu.” Kebijakan ini jelas memberikan keuntungan signifikan bagi produk alat kesehatan asal AS.
Airlangga: Pembebasan TKDN Produk AS Hanya Berlaku untuk Telekomunikasi dan Alkes
Menanggapi hal ini, Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas, menilai bahwa kebijakan tersebut akan membuka pintu lebar bagi masuknya alkes AS secara lebih leluasa. Pandangan ini patut menjadi perhatian serius bagi pelaku industri alkes di dalam negeri.
Padahal, menurut data yang dihimpun dari Kementerian Perindustrian Republik Indonesia dan Asosiasi Perusahaan Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki), mayoritas kebutuhan alkes Indonesia, sekitar 80%, masih sangat bergantung pada produk impor. Kondisi ini memperlihatkan tantangan besar yang sudah ada, bahkan sebelum kesepakatan baru ini berlaku.
“Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan strategis: bagaimana nasib emiten-emiten lokal yang tengah berupaya membangun kapasitas manufaktur sendiri?” urai Liza dalam risetnya pada Kamis (24/7/2025). Pertanyaan ini menyoroti kekhawatiran serius terhadap keberlanjutan produsen alkes lokal.
Sebagai dampak dari kesepakatan dagang ini, pasar alat kesehatan akan menjadi semakin dinamis dan kompetitif. Konsumen akan dimanjakan dengan lebih banyak pilihan produk, dengan variasi harga, spesifikasi, dan waktu pengiriman yang lebih beragam. Ini adalah sisi positif bagi pasar, namun sekaligus tantangan bagi pemain domestik.
Liza menambahkan bahwa emiten lokal akan terpaksa mempercepat proses produksi sekaligus meningkatkan efisiensi biaya. Langkah-langkah ini menjadi krusial untuk mempertahankan daya saing di tengah gempuran produk alkes asing.
Oleh karena itu, Liza menyarankan agar produsen alkes dalam negeri meningkatkan persentase TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) untuk memperoleh keunggulan dalam pengadaan melalui e-katalog pemerintah. Selain itu, pemanfaatan branding lokal yang kuat serta optimalisasi jalur distribusi nasional juga dinilai sangat penting.
Dalam analisisnya, Liza melihat kesepakatan ini ibarat pedang bermata dua: ia menghadirkan ancaman sekaligus peluang bagi industri alkes nasional. Perspektif ini mengajak untuk melihat situasi dari berbagai sudut pandang.
Dari sisi peluang, emiten distributor alkes lokal justru bisa meningkatkan volume transaksi mereka, mengingat semakin dinamisnya pasar alat kesehatan. Selain itu, para emiten juga berpotensi melakukan rebranding produk dan membuka peluang kemitraan strategis dengan pihak asing, yang dapat membawa inovasi dan modal baru.
Namun, sisi ancamannya akan menjadi sangat nyata bila pemerintah tidak segera menambahkan insentif tambahan. Tanpa dukungan kuat, alkes lokal berisiko tenggelam dalam dominasi jenama asing di pasar Tanah Air yang semakin terbuka lebar.
Liza menegaskan bahwa pemerintah tidak cukup hanya membuka keran impor, tetapi juga harus tetap menjaga agar produk lokal bisa terus bersaing secara sehat. Kebijakan pro-bisnis domestik menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan pasar.
“Misalnya insentif fiskal dan pajak untuk transaksi antar entitas dalam negeri; termin pembayaran lebih panjang, diskon khusus untuk belanja e-katalog produk lokal, dan proteksi strategis berbasis TKDN tetap diberlakukan meski ada pelonggaran terhadap AS,” pungkas Liza, memberikan rekomendasi konkret bagi pemerintah untuk melindungi dan mendorong pertumbuhan industri alkes dalam negeri.
Kalbe Farma (KLBF) Meracik Cuan dari Bisnis Alkes
Ringkasan
Indonesia dan Amerika Serikat mencapai kesepakatan dagang yang signifikan, mempermudah masuknya produk alat kesehatan (alkes) AS ke pasar Indonesia. Kesepakatan ini membebaskan alkes AS dari beberapa kewajiban pelabelan dan sertifikasi, cukup dengan persetujuan FDA. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius bagi industri alkes lokal yang mayoritas masih bergantung pada impor, mengancam keberlanjutan produsen dalam negeri.
Kondisi ini menuntut emiten alkes lokal untuk mempercepat produksi dan meningkatkan efisiensi biaya demi daya saing. Meskipun ada ancaman, kesepakatan tersebut juga membuka peluang bagi distributor lokal dan kemitraan strategis. Pemerintah diharapkan memberikan insentif tambahan seperti insentif fiskal dan diskon e-katalog untuk produk lokal, serta tetap mempertahankan proteksi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) agar produk domestik tetap bersaing sehat.