Saat Asing Jual Saham, Institusi Lokal Asuransi dan BPJS-TK Kompak Borong Saham Bank

Ade Banteng

Rancak Media  JAKARTA. Setelah sempat membukukan pembelian bersih dalam jumlah besar pada bulan Mei, investor asing berbalik melakukan aksi jual terhadap saham empat bank besar nasional pada Juni 2025. Langkah ini terjadi di tengah ketidakpastian seputar proyek investasi Danantara serta kondisi makroekonomi yang masih lesu.

Data mencatat, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menjadi dua bank dengan tekanan jual asing terbesar, masing-masing mencatatkan penjualan bersih sekitar Rp 3,9 triliun dan Rp 3,3 triliun selama Juni 2025. Sementara itu, Bank Syariah Indonesia (BRIS) menjadi satu-satunya bank yang konsisten mencatat pembelian bersih oleh investor asing sejak awal tahun ini.

Menurut Analis CGS International Sekuritas Indonesia Handy Noverdanius, kinerja saham empat bank besar tercatat tertinggal dari pasar secara keseluruhan, dengan rata-rata return -11,3% year-to-date (ytd), jauh di bawah IHSG yang turun -2,5% ytd. “Kami menilai bahwa kekhawatiran atas lambatnya pelaksanaan kebijakan pemerintah, belanja fiskal yang minim, serta lemahnya kinerja keuangan semester I-2025 telah menyebabkan saham empat bank besar ini tertingga dibandingkan indeks acuan tahun ini,” ujar dia dalam riset pada 7 Juli 2025.

Intip Rekomendasi Saham dari CGS International Sekuritas Untuk Hari Ini (10/3)

 CGS International Sekuritas juga menyebut kepemilikan dana institusi asing terhadap saham-saham bank besar juga terus menyusut. Berdasarkan data terbaru, kepemilikan investor asing terhadap saham non-strategis empat bank besar turun sekitar 1 poin persentase secara bulanan pada Juni 2025, dan 4,2 poin persentase YTD, menjadi posisi terendah dalam dua tahun terakhir.

Dalam situasi ini, investor asing mulai beralih ke saham-saham yang dianggap lebih defensif. “Dalam laporan kami “Fund Flows – 250 Days of New Govt”, disebutkan bahwa meskipun tekanan jangka pendek masih ada, profil risiko dan imbal hasil jangka panjang IHSG tetap menarik. Bank-bank besar diperkirakan akan menjadi penerima manfaat utama saat arus dana asing kembali masuk ke pasar,” pendapat Handy dalam riset. 

Saham di segmen bank kecil, BTPS mencatat lonjakan kepemilikan oleh institusi domestik dan asing secara bulanan, berkat prospek fundamental yang solid dan perbaikan kualitas aset. Sementara aksi jual besar-besaran terjadi pada saham BBCA. Meski begitu menurut Handy, saham BBCA tetap menjadi bank dengan kepemilikan asing tertinggi di antara bank-bank besar lainnya, yakni sebesar 75,2% per Juni 2025.

Berbeda dengan aksi yang dilakukan investor asing, investor lokal justru melihat peluang. “Berdasarkan data dari KSEI, kami mencatat bahwa institusi lokal terutama dari dana asuransi lokal terus melakukan pembelian saham bank-bank besar karena valuasinya yang menarik. Hal ini sejalan dengan pemberitaan bahwa dana jaminan sosial nasional, BPJS-TK, telah meningkatkan dukungannya terhadap IHSG, sehingga mendorong peningkatan kepemilikan asuransi lokal pada empat bank besar,” ujar Handy dalam riset. 

Adapun reksa dana lokal, CGS Sekuritas juga mencatat adanya peningkatan kepemilikan bulanan pada saham BBCA, BBRI, dan BMRI. Namun, BBNI dan BRIS justru mengalami penjualan bersih (sell-off) secara bulanan oleh reksa dana lokal

Meski tekanan jangka pendek masih terasa, CGS Sekuritas mempertahankan rekomendasi overweight untuk sektor perbankan. Valuasi saat ini telah kembali ke level 1,8x price-to-book value (P/BV), mendekati titik terendah yang terlihat pada Maret 2025. Selain itu, dividend yield bank-bank BUMN juga menarik, berada di kisaran 9%.

Intip Enam Saham Pilihan CGS International untuk Perdagangan Senin (3/2)

Menjelang rilis kinerja kuartal II 2025 yang diperkirakan masih lemah, investor disarankan fokus pada saham-saham defensif seperti BTPS dan BBCA, yang kecil kemungkinan mencatat kinerja mengecewakan. Untuk bank BUMN, perbaikan likuiditas Dana Pihak Ketiga (DPK) dipandang sebagai katalis utama untuk re-rating valuasi, seiring potensi penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) dan suku bunga Bank Indonesia (BI). Namun demikian, Handy menyebut, risiko tetap ada, termasuk kemungkinan suku bunga BI tetap tinggi dalam jangka panjang serta belanja fiskal yang tidak sesuai ekspektasi pasar.

Baca Juga

Bagikan:

Tags

https://kepware.oice-automation.com/ https://sielang.bekasikab.go.id/ https://dinkes.pinrangkab.go.id/ https://disdikbud.pinrangkab.go.id/