55 Saham Terancam Delisting: Analis Ungkap Strategi Aman untuk Investor!

Ade Banteng

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali menghadirkan pembaruan data terkini mengenai saham-saham yang berpotensi kuat untuk dihapus paksa (delisting) dari perdagangan di pasar saham. Situasi ini tentu menjadi sorotan serius bagi para investor.

Terhitung per 30 Juni 2025, tercatat sebanyak 55 emiten berisiko tinggi dikeluarkan dari daftar bursa. Potensi delisting ini muncul karena saham-saham tersebut telah mengalami suspensi perdagangan selama minimal enam bulan atau lebih, menandakan adanya masalah fundamental yang mendalam pada perusahaan-perusahaan bersangkutan.

Ke-55 emiten yang sahamnya kini terancam delisting meliputi berbagai nama yang mungkin tidak asing di telinga investor, yaitu ALMI, ARMY, ARTI, BIKA, BOSS, BTEL, CBMF, COWL, CPRI, DEAL, DUCK, ENVY, ETWA, GAMA, GOLL, HKMU, HOME, HOTL, IIKP, INAF, IPPE, JSKY, KAYU, KBRI, LCGP, LMAS, MABA, MAGP, MKNT, MTRA, NUSA, PLAS, POLL, dan POOL.

Selain itu, daftar ini juga mencakup POSA, PPRO, PURE, RIMO, SBAT, SIMA, SKYB, SMRU, SRIL, SUGI, TDPM, TECH, TELE, TOPS, TOYS, TRAM, TRIL, TRIO, UNIT, WMPP, dan WSKT. Emisi-emisi ini tersebar di berbagai sektor industri vital, mulai dari finansial, infrastruktur, konsumer, teknologi, energi, properti, kesehatan, barang dasar, hingga industri berat, menunjukkan cakupan risiko yang luas di pasar modal.

BEI Perbarui Data 55 Perusahaan Berpotensi Delisting Per Juni 2025, Ini Daftarnya

Dalam deretan saham yang menghadapi ancaman delisting ini, nama PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex menjadi salah satu yang paling menonjol. Emiten tekstil raksasa ini telah dinyatakan pailit setelah gagal memenuhi kewajiban utangnya, ditambah lagi dengan penurunan kinerja yang signifikan akibat tekanan industri tekstil, menempatkannya pada jalur menuju forced delisting.

Tak hanya itu, beberapa emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau anak usaha BUMN juga turut masuk dalam radar ancaman ini. Di antaranya adalah PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Indofarma Tbk (INAF), dan PT PP Properti Tbk (PPRO). Kondisi ini menambah kompleksitas dan menjadi perhatian khusus bagi pasar serta pemerintah.

Manajemen WSKT, menyadari urgensi situasi, telah merancang dua skema restrukturisasi ambisius demi pencabutan suspensi sahamnya. Pertama, restrukturisasi utang perbankan yang ditargetkan rampung pada Oktober 2024. Hingga kini, progresnya diklaim sudah mencapai 100%, dengan kesepakatan Perubahan Perjanjian MRA dan Perubahan Perjanjian KMKP yang efektif sejak 17 Oktober 2024, seperti disampaikan Sekretaris Perusahaan Waskita Karya, Ermy Puspa Yunita, dalam keterbukaan informasi, Senin (30/6).

Kedua, restrukturisasi utang obligasi WSKT yang diharapkan tuntas pada Desember 2025. Dari empat seri obligasi non-penjaminan yang direstrukturisasi, tiga seri telah berhasil disetujui oleh pemegang obligasi, menandakan progres sebesar 75%. Saham WSKT sendiri telah disuspensi sejak Mei 2023 akibat kegagalan pembayaran empat seri utang obligasi non-penjaminan yang telah jatuh tempo.

Humpuss Intermoda (HITS) Akan Delisting, Seberapa Menarik Tender Offernya?

Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, mengemukakan bahwa nasib emiten-emiten yang terancam delisting sangat bergantung pada kondisi internal masing-masing perusahaan. Kasus SRIL, misalnya, yang sudah pailit dan sahamnya tersuspensi dalam waktu lama, jelas memenuhi syarat untuk forced delisting. Dalam skenario ini, investor publik, khususnya ritel, berada pada posisi paling akhir dalam prioritas likuidasi aset, jauh di belakang kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

“Artinya, potensi kerugian sangat besar dan buyback kemungkinan tidak dilakukan karena kondisi keuangan emiten sudah tidak memungkinkan,” jelas Ekky, Selasa (1/7). Di sisi lain, beberapa emiten berupaya keras melepaskan diri dari jerat delisting, seperti yang ditunjukkan WSKT. Dengan dukungan pemerintah, emiten konstruksi pelat merah ini masih memiliki peluang lolos jika proses restrukturisasi berjalan mulus dan tepat waktu.

Sementara itu, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menambahkan bahwa investor berada dalam posisi serba sulit ketika “nyangkut” di saham yang berpotensi delisting. Peluang menderita kerugian besar sangat nyata, sehingga langkah terbaik adalah meminimalisir kerugian investasi tersebut. Namun, segalanya kembali pada kejelasan nasib emiten bersangkutan. Jika emiten terpaksa delisting, mereka wajib segera menggelar aksi buyback. “Untuk emiten yang ingin lepas dari suspensi, harus ada komitmen kuat dari mereka untuk memperbaiki kinerja,” tegas Nafan, Selasa (1/7).

Lebih lanjut, risiko terperangkap dalam saham yang terancam delisting sejatinya merupakan konsekuensi inheren dari berinvestasi di pasar modal. Ini terutama berlaku jika investasi dilakukan pada emiten dengan likuiditas rendah, rasio utang yang tinggi, atau kondisi fundamental yang terus memburuk. Ekky menjelaskan, apabila emiten tidak mampu melakukan buyback secara sukarela atau gagal menuntaskan restrukturisasi, nilai sahamnya dapat menyusut mendekati nol dan tidak lagi dapat diperjualbelikan di pasar reguler. Meskipun investor masih memiliki opsi menjual saham melalui pasar negosiasi, pasar ini dikenal tidak likuid dan tanpa jaminan adanya pembeli.

“Jika emiten mengalami pailit dan asetnya dikuras oleh kurator, maka pemegang saham publik hampir tidak memiliki prioritas untuk mendapat bagian dari sisa aset tersebut,” imbuh Ekky, menggarisbawahi risiko ekstrem bagi investor ritel.

Keluarga Widjaja Kuasai 97% Saham Sinarmas Land, Siap Delisting dari Bursa Singapura

Dari sisi regulasi, BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menunjukkan tingkat transparansi yang memadai dan aktif dalam menyampaikan informasi mengenai emiten-emiten berisiko delisting. Adanya daftar emiten potensial delisting yang diperbarui secara berkala setiap semester adalah bentuk keterbukaan informasi yang patut dicermati investor. Hanya saja, upaya edukasi terhadap investor ritel perlu diperkuat agar mereka semakin memahami risiko yang melekat pada saham-saham berisiko tinggi tersebut. Terlebih, banyak saham yang terancam delisting merupakan emiten yang sudah lama melantai di bursa (IPO), namun kemudian menghadapi tekanan bisnis dan gagal memenuhi kewajiban, hingga sahamnya terkena suspensi.

Nafan menyarankan agar investor mengarahkan fokus ke saham-saham yang menawarkan kepastian pertumbuhan kinerja fundamental yang solid. Kondisi fundamental yang kuat pada akhirnya akan berkorelasi positif dengan pergerakan harga saham, memberikan peluang bagi investor untuk meraih keuntungan (cuan). “Investor juga harus fokus ke saham-saham emiten yang konsisten dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG),” terang Nafan.

Senada dengan itu, Ekky menekankan pentingnya bagi setiap investor untuk lebih selektif dalam memilih saham dan tidak mudah tergiur hanya oleh harga murah atau harapan potensi rebound semata. Investor wajib mencermati dengan saksama kondisi keuangan perusahaan, tingkat utang, arus kas, serta catatan-catatan dari BEI terkait saham yang akan diinvestasikan. “Pada akhirnya, kehati-hatian dan pemahaman menyeluruh atas risiko adalah kunci utama untuk melindungi diri dari kerugian besar akibat delisting,” pungkas Ekky.

Ringkasan

Bursa Efek Indonesia (BEI) telah memperbarui data 55 emiten yang berisiko tinggi dihapus paksa (delisting) dari perdagangan saham per 30 Juni 2025. Risiko ini muncul karena saham-saham tersebut telah disuspensi minimal enam bulan, menandakan masalah fundamental. Beberapa emiten yang terancam meliputi PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) yang telah pailit, serta BUMN seperti PT Waskita Karya Tbk (WSKT) yang tengah berupaya restrukturisasi utang untuk menghindari delisting.

Analis menekankan bahwa investor berpotensi besar mengalami kerugian jika saham yang dimiliki terpaksa delisting, terutama karena buyback seringkali tidak memungkinkan bagi emiten bermasalah. Investor disarankan untuk lebih selektif dalam memilih saham, berfokus pada emiten dengan fundamental yang kuat, likuiditas baik, dan tata kelola perusahaan yang baik. Kehati-hatian dan pemahaman risiko menyeluruh menjadi kunci untuk melindungi investasi di pasar modal.

Baca Juga

Bagikan:

Tags