EBT Jadi Primadona: Analis Ungkap Strategi Ekspansi Emiten!

Ade Banteng

JAKARTA. Gelombang ekspansi menuju sektor energi baru terbarukan (EBT) semakin gencar dilakukan oleh sejumlah emiten yang sebelumnya fokus pada bisnis energi fosil.

Sebagai contoh terbaru, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) melalui anak usahanya, PT Medco Power Indonesia, akan memulai operasi komersial Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ijen dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Bali pada 26 Juni 2025. PLTP Ijen, yang merupakan fasilitas panas bumi pertama di Jawa Timur, dikelola oleh PT Medco Cahaya Geothermal, sebuah usaha patungan antara Medco Power Indonesia dan Ormat Technologies Inc. Pembangkit ini memiliki kapasitas 35 megawatt (MW) untuk unit pertamanya.

Sementara itu, PLTS Bali dikembangkan oleh PT Medcosolar Bali Timur, hasil kolaborasi antara Medco Power Indonesia dan Solar Philippines. Pembangkit surya ini mampu menghasilkan kapasitas listrik 25 megawatt peak (MWp).

Sebelumnya, PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) juga telah merambah bisnis panas bumi di Bitung, Sulawesi Utara, melalui PT Toka Tindung Geothermal (TTG). Perusahaan patungan antara ARCI dan PT Ormat Geothermal Indonesia ini baru dibentuk pada 13 Juni 2025. TTG telah mengantongi izin pengelolaan panas bumi dari pemerintah dan menargetkan PLTP yang dibangun dapat mencapai kapasitas 40 MW. Manajemen ARCI saat ini berfokus pada kegiatan eksplorasi setelah memperoleh izin panas bumi tersebut.

Tidak ketinggalan, PT United Tractors Tbk (UNTR) turut memperkuat ekspansi ke sektor panas bumi melalui investasi pada PT Supreme Energy Rantau Dadap (SERD). Pada Juni 2025, UNTR meningkatkan kepemilikan sahamnya di SERD secara berturut-turut sebanyak 103.638 saham dan 129.291 saham. Penambahan kepemilikan ini dilakukan melalui dua anak usaha UNTR, yaitu PT Energia Prima Nusantara (EPN) dan PT Supreme Energy Sriwijaya (SES).

Selain itu, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) meresmikan pabrik sel dan modul surya terintegrasi di Kawasan Industri Kendal pada pertengahan Juni 2025. DSSA mengoperasikan pabrik ini melalui anak usahanya, PT Daya Sukses Makmur Selaras. Dalam hal ini, Daya Sukses Makmur Selaras adalah salah satu pemegang saham PT Trina Mas Agra Indonesia (TMAI), perusahaan yang mengembangkan fasilitas produksi sel dan modul surya senilai lebih dari Rp 1,5 triliun dengan kapasitas produksi mencapai 1 gigawatt (GW).

Menurut Pandhu Dewanto, Analis Investindo Nusantara Sekuritas, transisi energi telah menjadi tren global yang tak terelakkan, mendorong banyak emiten untuk berlomba-lomba berekspansi ke sektor EBT. Diversifikasi ke EBT juga didorong oleh tuntutan dari lembaga pembiayaan dan investor asing yang menekan korporasi untuk memiliki portofolio hijau. “Banyak investor Eropa bahkan mensyaratkan ESG rating dengan skor minimal tertentu agar bisa masuk ke dalam portofolio mereka,” ujarnya, Senin (30/6).

Ekky Topan, Investment Analyst Infovesta Utama, menambahkan bahwa langkah strategis emiten menuju bisnis EBT mencerminkan respons terhadap prospek jangka panjang agenda transisi energi di Indonesia. Terlebih lagi, pemerintah menargetkan porsi EBT dalam bauran energi nasional mencapai 70% hingga 2034. Target ambisius ini menjadi katalis positif bagi pertumbuhan industri EBT nasional, sekaligus mendorong partisipasi lintas sektor, termasuk perusahaan tambang dan migas yang sebelumnya tidak memiliki eksposur langsung ke energi bersih.

Namun, ekspansi ke sektor EBT bukannya tanpa tantangan. Proyek-proyek pembangkit seperti panas bumi, surya, dan air membutuhkan investasi awal yang sangat besar. Pembangkit ini biasanya menghasilkan pendapatan dalam skema jangka panjang melalui Power Purchase Agreement (PPA) yang nilainya dapat terpengaruh oleh fluktuasi ekonomi maupun kebijakan fiskal. Regulasi juga menjadi elemen krusial, di mana perubahan kebijakan subsidi, insentif, serta tarif listrik dasar berpotensi memberikan dampak besar terhadap kelayakan finansial proyek EBT. “Risiko lainnya adalah oversupply dalam jaringan listrik PLN akibat banyaknya unit EBT yang beroperasi secara bersamaan,” tambah Ekky.

Pandhu Dewanto juga menyoroti bahwa EBT adalah sektor padat teknologi dengan model bisnis yang relatif baru di Indonesia. Oleh karena itu, emiten perlu menggandeng perusahaan yang lebih ahli dalam penerapan teknologi EBT. Selain itu, masih ada keterbatasan pada infrastruktur distribusi, terutama di wilayah pelosok yang belum terjangkau jaringan listrik PLN secara optimal.

Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, Pandhu meyakini bahwa tren ekspansi emiten non-EBT ke sektor EBT akan terus berlanjut di masa mendatang. Hal ini karena transisi energi merupakan keniscayaan global dan telah menjadi komitmen di seluruh dunia. Akibatnya, banyak perusahaan yang selama ini mengandalkan bisnis energi fosil “dipaksa” mengikuti transisi energi, mengingat permintaan produk mereka akan berkurang dalam jangka panjang. “Dibandingkan dengan bisnis mereka saat ini, EBT cukup mirip karena sama-sama berperan sebagai penghasil energi, sehingga emiten tersebut memiliki keunggulan dalam akses permodalan dan rantai pasok yang dapat dialihkan ke EBT,” ungkapnya.

Senada, Ekky memproyeksikan bahwa gelombang investasi EBT dari emiten non-EBT bukanlah fenomena sesaat. Tren ini akan menjadi bagian dari strategi jangka panjang emiten dalam menyesuaikan diri dengan arah transformasi energi Indonesia dan global.

Dalam konteks investasi, Ekky merekomendasikan akumulasi beli saham MEDC dengan target harga di kisaran Rp 1.500 – 1.550 per saham. Sementara itu, investor disarankan untuk menerapkan strategi wait and see pada saham ARCI karena tren harganya mulai menurun. Saham UNTR dinilai cukup menarik untuk dipertimbangkan koleksinya oleh investor, karena saat ini berada di area support Rp 21.000 – 21.500 per saham dengan target harga Rp 25.000 per saham. Adapun saham DSSA disarankan untuk dihindari sementara waktu, mengingat adanya sinyal penurunan harga.

Ringkasan

Emiten di sektor energi fosil semakin gencar berekspansi ke energi baru terbarukan (EBT) sebagai respons terhadap tren global dan target transisi energi nasional. Contohnya, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) akan mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ijen dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Bali pada Juni 2025. PT United Tractors Tbk (UNTR) memperkuat investasi di panas bumi, sementara PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) merambah bisnis panas bumi di Sulawesi Utara. PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) juga meresmikan pabrik sel dan modul surya terintegrasi.

Ekspansi ini didorong oleh tuntutan investor untuk portofolio hijau dan target pemerintah yang menetapkan porsi EBT 70% dalam bauran energi nasional hingga 2034. Meskipun EBT memerlukan investasi besar dan menghadapi tantangan regulasi serta infrastruktur, analis memproyeksikan tren ini akan terus berlanjut. Perusahaan-perusahaan ini memiliki keunggulan akses permodalan dan rantai pasok yang dapat dialihkan ke EBT, seiring dengan keniscayaan transisi energi global.

Baca Juga

Bagikan:

Tags