Indonesia Raja Nikel: Dominasi di Pasar Global!

Ade Banteng

Rancak Media, Jakarta – Pasar nikel global diproyeksikan akan dibanjiri surplus yang signifikan pada tahun 2025. Kelompok Studi Nikel Internasional (INSG) memperkirakan volume surplus ini bisa mencapai 198.000 metrik ton, sebuah angka yang mencerminkan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan. Prediksi ini muncul mengingat konsumsi nikel primer global diperkirakan hanya menyentuh 3,537 juta ton, sementara produksinya melonjak hingga 3,735 juta ton.

Menurut laporan dari discoveryalert.com.au, tren peningkatan produksi nikel global telah berlangsung konsisten selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2023, produksi tercatat sebesar 3,363 juta ton, kemudian naik menjadi 3,526 juta ton pada tahun 2024. Puncaknya, produksi diproyeksikan akan menembus 3,735 juta ton pada tahun 2025, menandai kenaikan sekitar 11,1 persen dibandingkan dua tahun sebelumnya.

Lonjakan produksi nikel yang dramatis ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan strategis pemerintah Indonesia. Larangan ekspor bijih nikel mentah telah menjadi katalisator bagi percepatan investasi di sektor hilirisasi, mendorong pembangunan fasilitas pengolahan berskala masif di dalam negeri. Adopsi teknologi canggih seperti High-Pressure Acid Leach (HPAL) dan nickel pig iron (NPI) secara signifikan menambah kapasitas pengolahan, terutama dengan mulai beroperasinya sejumlah proyek besar antara tahun 2023 hingga 2025.

Dominasi Indonesia dalam produksi nikel global semakin terkonfirmasi. Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) mengungkapkan bahwa Indonesia telah menjadi produsen nikel terbesar di dunia pada tahun 2022, berkontribusi pada total produksi nikel global yang kala itu diperkirakan mencapai 3,3 juta metrik ton.

Peran perusahaan-perusahaan asal Tiongkok sangat krusial dalam ekspansi industri nikel ini. Mereka tidak hanya memastikan pasokan bijih nikel yang stabil dari Indonesia, tetapi juga aktif membangun fasilitas pengolahan yang terintegrasi, besar, dan modern. Pertumbuhan kapasitas produksi yang pesat dan berskala masif ini jauh melampaui banyak perkiraan industri, menjadi salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya surplus nikel di pasar global saat ini.

Meskipun produksi nikel melonjak agresif, permintaan global juga menunjukkan pertumbuhan yang stabil, walau belum mampu menyaingi laju pasokan. Konsumsi nikel tercatat meningkat dari 3,193 juta ton pada tahun 2023 menjadi 3,347 juta ton pada tahun 2024, dan diperkirakan mencapai 3,537 juta ton pada tahun 2025, mencatat kenaikan sekitar 10,8 persen dalam tiga tahun terakhir.

Penggunaan baja tahan karat, yang merupakan penyerap nikel utama, terus meningkat stabil sekitar 4-5 persen per tahun, didorong oleh ekspansi infrastruktur di berbagai negara berkembang. Sementara itu, sektor baterai menunjukkan pertumbuhan yang lebih pesat, mencapai 15-20 persen per tahun, meskipun masih berasal dari basis yang relatif kecil.

Namun, ada tren menarik yang memengaruhi dinamika permintaan: meningkatnya adopsi baterai lithium iron phosphate (LFP) yang minim nikel, terutama di pasar kendaraan listrik Tiongkok. Meskipun penjualan kendaraan listrik terus melonjak, pergeseran ke baterai LFP di beberapa segmen menahan laju pertumbuhan permintaan nikel dari sektor ini. Selain itu, kondisi siklus super komoditas global juga turut memengaruhi pergerakan pasar nikel secara keseluruhan.

Menurut laporan Rancak Media yang mengutip Laporan Pasar Komoditas Bank Dunia edisi April 2025, harga nikel diprediksi akan mengalami koreksi sebesar 6 persen sepanjang tahun ini, melanjutkan penurunan 2 persen yang terjadi pada kuartal pertama. Penurunan ini membawa harga nikel ke titik terendah sejak tahun 2020.

Koreksi harga ini dipicu oleh dua faktor utama: peningkatan pasokan global yang signifikan dan melambatnya permintaan dari sektor baterai kendaraan listrik, yang selama ini menjadi mesin pendorong utama konsumsi nikel. Bank Dunia secara spesifik menyoroti lonjakan pasokan yang sebagian besar disumbang oleh pertumbuhan produksi nikel Indonesia yang terus melonjak, didorong oleh investasi besar-besaran dari perusahaan-perusahaan Tiongkok dan insentif dari pemerintah Indonesia.

Kini, Indonesia menguasai sekitar 60 persen dari total produksi nikel dunia, mengukuhkan posisinya sebagai produsen terbesar di pasar global. Meski demikian, Bank Dunia mengingatkan bahwa laju pertumbuhan produksi nasional kemungkinan akan melambat dalam waktu dekat. Hal ini sejalan dengan rencana pemerintah untuk menerapkan kuota pertambangan, sebuah langkah yang bertujuan untuk menstabilkan harga nikel setelah dua tahun terakhir menghadapi tekanan penurunan harga hingga mencapai 35 persen.

Dicky Kurniawan dan Achmad Ghiffary Mannan berkontribusi dalam tulisan ini.Pilihan editor: Tempo Eksplainer: Berapa Biaya Reklamasi Tambang Nikel

Ringkasan

Pasar nikel global diperkirakan akan mengalami surplus signifikan pada tahun 2025, didorong oleh lonjakan produksi yang melampaui pertumbuhan konsumsi. Indonesia telah mengukuhkan posisinya sebagai produsen nikel terbesar di dunia, menguasai sekitar 60 persen produksi global. Dominasi ini adalah hasil kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah, yang memicu investasi besar-besaran, termasuk dari Tiongkok, dalam fasilitas hilirisasi nikel di dalam negeri.

Peningkatan pasokan yang agresif ini, ditambah melambatnya permintaan dari sektor baterai kendaraan listrik akibat adopsi baterai LFP, telah menyebabkan koreksi harga nikel secara signifikan. Bank Dunia memproyeksikan penurunan harga nikel sebesar 6 persen tahun ini. Untuk menstabilkan pasar dan harga nikel, pemerintah Indonesia berencana menerapkan kuota pertambangan yang diharapkan dapat memperlambat laju pertumbuhan produksi nikel di masa mendatang.

Baca Juga

Bagikan:

Tags