Rancak Media JAKARTA. Emiten-emiten di sektor minyak dan gas bumi (migas) sedang menikmati sentimen positif yang signifikan. Kondisi ini dipicu oleh lonjakan harga minyak mentah dunia yang terjadi pada Jumat (13/6), menyusul kembali memanasnya konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah.
Merujuk data dari situs Trading Economics, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) melonjak tajam 7,51%, mencapai level US$ 73,15 per barel pada pukul 18.33 WIB, Jumat (13/6). Tak ketinggalan, harga minyak Brent juga menunjukkan kenaikan impresif sebesar 7,12%, menyentuh level US$ 74,30 per barel.
Dampak langsung dari kenaikan harga komoditas global ini tercermin jelas pada pergerakan saham emiten migas di Bursa Efek Indonesia. PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) memimpin dengan kenaikan fantastis 9,38%, menutup perdagangan di level Rp 1.400 per saham. Saham PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) juga tak kalah perkasa, meroket 7,03% ke level Rp 274 per saham. Sementara itu, PT Elnusa Tbk (ELSA), emiten jasa migas yang merupakan bagian dari Grup Pertamina, menanjak 6,69% ke level Rp 510 per saham. Emiten lain yang turut merasakan manisnya lonjakan ini adalah PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU), yang sahamnya melesat 7,39% ke Rp 7.625 per saham. Induk usahanya, PT Rukun Raharja Tbk (RAJA), juga menguat meski terbatas 0,71% ke Rp 2.820 per saham.
Fenomena lonjakan harga minyak ini tidak lepas dari ketegangan di kawasan Timur Tengah. Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menggarisbawahi bahwa konflik antara Israel dan Iran menjadi faktor dominan yang memengaruhi pergerakan harga minyak global saat ini. Ia menjelaskan, Iran merupakan pemain penting dengan produksi sekitar 3,28 juta barel minyak mentah per hari per Januari 2025, menyumbang 4% dari total produksi dan kebutuhan minyak global. Liza memperkirakan harga minyak akan bertahan di atas US$ 70 per barel, dengan level support berikutnya di kisaran US$ 68 atau US$ 65 per barel.
Senada dengan pandangan tersebut, Equity Analyst Indo Premier Sekuritas, Imam Gunadi, menambahkan bahwa kenaikan signifikan harga minyak dunia sangat dipengaruhi oleh faktor geopolitik, terutama menyusul serangan militer Israel terhadap Iran. Konflik ini menimbulkan kekhawatiran serius akan potensi gangguan distribusi minyak, khususnya di Selat Hormuz, sebuah jalur krusial yang dilewati sekitar 20% pasokan minyak global. “Hal ini memicu peningkatan permintaan karena kekhawatiran akan adanya gangguan pasokan,” ungkap Imam pada Jumat (13/6).
Bagi emiten-emiten di sektor migas, kondisi seperti ini tentu menjadi angin segar yang berpotensi mendorong kinerja bisnis mereka. Kenaikan harga minyak secara langsung dapat mendongkrak pendapatan dan margin keuntungan, khususnya bagi emiten yang bergerak di sektor hulu migas seperti MEDC dan ENRG. Emiten jasa migas, seperti ELSA dan RAJA, juga dapat menikmati peningkatan permintaan layanan jika aktivitas pengeboran dan produksi minyak ikut melonjak.
Meskipun demikian, ada beberapa catatan penting yang perlu dicermati. Dampak positif dari lonjakan harga minyak berpotensi hanya bersifat sementara jika konflik geopolitik mereda. Selain itu, kenaikan harga minyak juga bisa terhenti apabila ada intervensi dari negara-negara produsen utama yang bertujuan menstabilkan pasokan minyak global. Harga komoditas ini juga rentan terhadap koreksi jika muncul sentimen negatif lain, seperti sikap hawkish dari The Fed terkait arah suku bunga acuan atau peningkatan cadangan minyak global.
Mengantisipasi volatilitas pasar, Imam Gunadi menekankan pentingnya bagi emiten migas untuk terus menjaga efisiensi biaya dan memiliki struktur biaya produksi yang kompetitif agar tetap tangguh di tengah gejolak harga. Diversifikasi lini bisnis, penguatan lini midstream atau downstream, serta menjaga rasio utang yang sehat juga menjadi strategi krusial.
Dalam konteks investasi, Imam Gunadi merekomendasikan beberapa saham emiten migas. Ia menyarankan beli saham ELSA dengan entry level Rp 510, target harga Rp 540, dan stop loss di bawah Rp 496. Saham MEDC juga direkomendasikan beli dengan entry level Rp 1.400, target harga Rp 1.515, dan stop loss di bawah Rp 1.345. Untuk saham RAJA, rekomendasi beli diberikan dengan entry level Rp 2.820, target harga Rp 2.980, dan stop loss di bawah Rp 2.740. Rekomendasi beli juga berlaku untuk saham RATU dengan entry level Rp 7.645, target harga Rp 8.175, dan stop loss di bawah Rp 7.350. Sementara itu, untuk saham ENRG, Imam menyarankan wait and see hingga terjadi pullback di area Rp 246-254 per saham.
Dari perspektif teknikal, Liza Camelia Suryanata menyarankan investor untuk tidak terburu-buru menambah posisi pada saham MEDC, terutama menjelang akhir pekan yang berpotensi membawa gejolak di pasar komoditas. Secara teknikal, saham MEDC telah mencapai target atau resistance upper channel di level Rp 1.400 per saham, dengan indikator RSI yang sudah menunjukkan kondisi overbought. Namun, jika kondisi fundamental tetap mendukung, upper channel ini berpeluang ditembus, membuka jalan bagi MEDC menuju target harga Rp 1.600 per saham. Selain itu, Liza merekomendasikan beli bertahap saham RATU dengan target harga bertahap di level Rp 8.000, Rp 9.000, serta potensi mencapai Rp 9.700—10.000 per saham.
Ringkasan
Harga minyak mentah dunia melonjak signifikan dipicu memanasnya konflik geopolitik di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Iran. Kenaikan ini menyebabkan harga minyak WTI dan Brent masing-masing naik tajam pada 13 Juni. Dampak positif langsung terlihat pada saham-saham emiten migas di Bursa Efek Indonesia, dengan beberapa saham seperti MEDC, ENRG, ELSA, dan RATU mengalami kenaikan signifikan.
Para analis menggarisbawahi faktor geopolitik sebagai pemicu utama lonjakan harga minyak yang berpotensi bertahan di atas US$70 per barel, meningkatkan pendapatan emiten hulu dan permintaan layanan jasa migas. Meskipun demikian, kenaikan ini bisa bersifat sementara jika konflik mereda atau ada intervensi pasar. Dalam konteks investasi, beberapa analis merekomendasikan saham seperti ELSA, MEDC, RAJA, dan RATU untuk dibeli, sambil menekankan pentingnya efisiensi biaya bagi emiten.