Ekonom Bereaksi! Revisi Garis Kemiskinan Bank Dunia: Dampaknya ke Indonesia

Ade Banteng

Rancak MediaJakarta – Bank Dunia merevisi batas garis kemiskinan global, memicu diskusi hangat di kalangan ekonom Indonesia. Revisi ini, yang tertuang dalam laporan “June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform,” menggunakan metode perhitungan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) 2021, yang dipublikasikan oleh International Comparison Program (ICP) pada Mei 2024. Sebelumnya, Bank Dunia menggunakan PPP 2017 dalam laporan April 2025. Lantas, apa implikasinya bagi Indonesia?

Perubahan mendasar terletak pada garis kemiskinan yang kini ditetapkan pada tiga tingkatan. Standar kemiskinan ekstrem global naik dari US$ 2,15 menjadi US$ 3 per kapita per hari. Negara berpenghasilan menengah ke bawah mengalami penyesuaian dari US$ 3,65 menjadi US$ 4,2 per kapita per hari, sementara negara berpenghasilan menengah ke atas berubah dari US$ 6,85 menjadi US$ 8,3 per kapita per hari.

Dengan menggunakan standar lama (US$ 6,85 PPP 2017), sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia pada tahun 2024 berada di bawah garis kemiskinan menengah atas. Namun, dengan standar baru (US$ 8,3 PPP 2021), persentase ini melonjak menjadi 68,25 persen. Lonjakan ini sontak menimbulkan pertanyaan mengenai potret kemiskinan di Indonesia yang sebenarnya.

Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, mengingatkan agar revisi ini dimaknai dengan hati-hati. Menurutnya, garis kemiskinan Bank Dunia lebih ditujukan untuk perbandingan global, bukan sebagai landasan tunggal untuk kebijakan nasional. “Garis kemiskinan Bank Dunia memiliki tujuan utama untuk komparabilitas global, bukan untuk pengambilan kebijakan nasional langsung,” ujarnya, seperti dikutip dari Antara, Selasa, 10 Juni 2025.

Josua menjelaskan bahwa Bank Dunia menggunakan pendekatan PPP untuk menyesuaikan perbedaan daya beli antarnegara. Sementara itu, Indonesia memiliki data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (cost of basic needs/CBN). Pendekatan BPS dianggap lebih kontekstual dan sesuai dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia.

Sebagai contoh, dalam menghitung komponen makanan, BPS menggunakan standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori (kkal) per orang per hari, dengan mempertimbangkan pola konsumsi aktual masyarakat, termasuk makanan pokok seperti beras. BPS juga memasukkan kebutuhan dasar non-makanan seperti pendidikan dan perumahan.

Perbedaan pendekatan ini menghasilkan data yang kontras. Per September 2024, BPS mencatat tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,57 persen, atau sekitar 24 juta jiwa. Sementara itu, Bank Dunia, dengan garis kemiskinan US$ 6,85 PPP per kapita per hari (menggunakan PPP 2017), memperkirakan 60,3 persen penduduk Indonesia hidup di bawah standar kemiskinan menengah atas.

Meskipun demikian, Josua mengakui pentingnya revisi garis kemiskinan global karena mencerminkan realitas daya beli yang lebih aktual, berdasarkan hasil International Comparison Program (ICP) 2021.

Pandangan berbeda diungkapkan oleh ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Ia berpendapat bahwa Indonesia perlu mengadopsi pendekatan Bank Dunia dalam mengukur tingkat kemiskinan, meskipun standar tersebut tergolong tinggi untuk Indonesia. Standar Bank Dunia diperuntukkan bagi negara berpendapatan menengah atas dengan PDB per kapita antara US$ 4.500 hingga US$ 14.000, sementara PDB per kapita Indonesia berada di angka US$ 4.900.

Wijayanto menilai garis kemiskinan Indonesia saat ini terlalu rendah, sehingga perlu disesuaikan dengan pendekatan Bank Dunia. “Salah satu solusi yang mungkin adalah menaikkan secara gradual, menuju standar Bank Dunia saat PDB per kapita kita mendekati US$ 9.500 mendekati median negara berpendapatan menengah atas, misalnya,” jelas Wijayanto.

Ia menambahkan, akurasi data tingkat kemiskinan sangat berpengaruh terhadap efektivitas program pemerintah. Standar garis kemiskinan yang rendah cenderung membuat pemerintah fokus pada program bantuan sosial (bansos), padahal seharusnya pemerintah menjalankan program yang lebih struktural dan substantif, yang menciptakan aktivitas ekonomi baru, meningkatkan produktivitas, dan berkelanjutan.

Senada dengan Wijayanto, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Arief Anshory Yusuf, mendesak pemerintah untuk segera memperbarui garis kemiskinan Indonesia. Menurutnya, pembaruan ini adalah hal yang wajar seiring dengan peningkatan kesejahteraan negara dan perubahan pola konsumsi.

“Nah, Indonesia ini (garis kemiskinan) sudah 26 tahun tidak diubah,” kata Arief kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Ahad, 8 Juni 2025.

Arief, yang juga merupakan Anggota Dewan Ekonomi Nasional, menyoroti bahwa perubahan standar Bank Dunia membuat garis kemiskinan Indonesia semakin mendekati batas kemiskinan ekstrem. Saat ini, garis kemiskinan Indonesia adalah Rp 595.242 per orang per bulan.

Sementara itu, berdasarkan garis kemiskinan internasional terbaru, batas kemiskinan adalah sekitar Rp 545 ribu per orang per bulan. “Artinya, standar kemiskinan Indonesia sangat dekat dengan median garis kemiskinan yang diadopsi negara-negara paling miskin di dunia,” tegas Arief.

Arief khawatir bahwa jika garis kemiskinan nasional tidak diperbarui, hal itu akan berdampak negatif terhadap arah kebijakan ekonomi. “Kalau kebijakan ekonomi kita dipengaruhi oleh informasi semu, bahwa kemiskinan kita sudah rendah, nanti kebijakan-kebijakan kita tidak akan proper,” jelasnya. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa masyarakat akan merasa terpinggirkan karena data tersebut tidak mencerminkan kondisi riil yang mereka rasakan sehari-hari.

Anastasya Leviana berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Angka Kemiskinan Indonesia Tertinggi di ASEAN. Mengapa?

Ringkasan

Bank Dunia merevisi garis kemiskinan global menggunakan metode paritas daya beli (PPP) 2021, yang berdampak pada penilaian kemiskinan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Revisi ini meningkatkan standar kemiskinan ekstrem global menjadi US$ 3 per kapita per hari, serta menyesuaikan batas untuk negara berpenghasilan menengah ke bawah dan menengah ke atas. Akibatnya, persentase penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan menengah atas berdasarkan standar Bank Dunia meningkat signifikan.

Ekonom Indonesia memiliki pandangan beragam mengenai implikasi revisi ini. Beberapa ekonom menekankan bahwa garis kemiskinan Bank Dunia lebih relevan untuk perbandingan global, sementara yang lain menyerukan agar Indonesia mempertimbangkan untuk mengadopsi standar yang lebih tinggi untuk mengukur kemiskinan secara akurat. Mereka berpendapat bahwa garis kemiskinan Indonesia saat ini terlalu rendah dan perlu disesuaikan agar kebijakan ekonomi lebih efektif dan mencerminkan kondisi riil masyarakat.

Baca Juga

Bagikan:

Tags