Rancak Media – , Jakarta – Menteri UMKM Maman Abdurrahman secara tegas memperingatkan potensi kehancuran bagi ribuan pengusaha mikro di Indonesia jika Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diterapkan secara kaku dalam setiap kasus hukum. Berbicara di gedung SMESCO, Jakarta Selatan, pada Kamis, 5 Juni 2025, Maman menyatakan keyakinannya bahwa penerapan UUPK yang terlalu ketat akan “menutup ekonomi” sektor UMKM secara luas. Peringatan ini menyoroti kekhawatiran serius terhadap keberlanjutan bisnis kecil yang kerap menghadapi kendala dalam memenuhi setiap aspek regulasi.
Untuk memperkuat argumennya, Maman mencontohkan kasus yang menimpa Toko Mama Khas Banjar, sebuah usaha milik Firly Norachim yang terpaksa gulung tikar. Toko tersebut ditutup setelah dinilai melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen karena tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa pada produknya. Maman menggarisbawahi bahwa penutupan ini terjadi bukan karena niat buruk, melainkan kemungkinan adanya “keteledoran kecil” atau kurangnya pemahaman hukum seiring dengan perkembangan bisnis yang pesat.
Maman melanjutkan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pengusaha mikro memang belum mencantumkan label kedaluwarsa secara konsisten pada produk mereka. Ia berpandangan bahwa jika pendekatan regulasi terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) didasari pada sanksi pidana, seperti hukuman penjara, dampaknya bisa sangat fatal dan berujung pada penutupan massal. Lebih dari sekadar ancaman bagi pelaku usaha, sanksi pidana dinilai tidak efektif dalam mengatasi akar masalahnya, yaitu minimnya pemahaman pengusaha mengenai kewajiban pelabelan. “Jika kita terus-menerus menerapkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan pendekatan ini, saya pikir masalahnya tidak akan pernah ada habisnya,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Maman mendesak para penegak hukum untuk mempertimbangkan penerapan sanksi administratif sebagai solusi utama, bukan sanksi pidana. Ia secara spesifik merekomendasikan penggunaan Undang-Undang Pangan, yang menurutnya lebih berorientasi pada pembinaan. “Sanksinya bukan sanksi pidana, melainkan sanksi administratif, yang berarti ada ruang untuk pembinaan yang harus kita prioritaskan,” jelasnya, menekankan pentingnya pendekatan yang mendidik ketimbang menghukum.
Maman berharap agar sanksi pidana dapat menjadi opsi terakhir dalam setiap proses penegakan hukum terhadap pengusaha mikro. Ia menganjurkan agar aparat hukum lebih mengedepankan penggunaan undang-undang yang bersifat khusus dibandingkan yang umum, sejalan dengan prinsip hukum “Lex specialis derogat legi generali” (hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum). Meskipun demikian, ia juga mengingatkan bahwa pemberian sanksi administratif bukan berarti para pengusaha dapat terlena atau mengabaikan kewajiban mereka. “Ini bukan berarti para pengusaha mikro lantas menjadi tidak acuh dan terlena,” tegasnya, menegaskan pentingnya kesadaran hukum dan kepatuhan yang berkelanjutan.
Ringkasan
Maman Abdurrahman, Menteri UMKM, memperingatkan bahwa penerapan kaku Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dapat menghancurkan ribuan pengusaha mikro di Indonesia. Ia menyoroti kasus Toko Mama Khas Banjar yang tutup karena tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa, mengindikasikan masalah dari keteledoran kecil atau kurangnya pemahaman hukum. Maman menegaskan bahwa mayoritas pengusaha mikro belum konsisten dalam pelabelan produk mereka.
Oleh karena itu, Maman mendesak penegak hukum untuk mengedepankan sanksi administratif dan pembinaan, bukan sanksi pidana, yang dianggap tidak efektif dan dapat menyebabkan penutupan massal. Ia merekomendasikan penggunaan Undang-Undang Pangan yang berorientasi pembinaan, dengan sanksi pidana sebagai pilihan terakhir. Pendekatan ini diharapkan lebih fokus pada pembinaan dibandingkan hukuman, tanpa mengabaikan kewajiban pengusaha.