Rancak Media JAKARTA. Kinerja saham emiten multifinance menunjukkan pergerakan yang bervariasi. Sepanjang tahun berjalan, beberapa saham perusahaan pembiayaan ini berhasil mencatatkan kenaikan, sementara yang lain justru mengalami tekanan dan pelemahan.
Sebagai gambaran, pada penutupan perdagangan Rabu (4/6), saham PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) bergerak stagnan di level Rp 8.875 per saham. Namun, secara year to date (ytd), kinerja saham ADMF tercatat menurun 9,90%. Di sisi lain, saham PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN) berhasil menguat 0,57% ke level Rp 885 per saham, meski secara ytd masih terkoreksi 6,35%. Sementara itu, saham PT Clipan Finance Indonesia Tbk (CFIN) melemah tipis 0,51% menjadi Rp 394 per saham, namun secara ytd justru melesat signifikan hingga 27,92%.
Pergerakan saham emiten multifinance lainnya juga tak kalah dinamis. Harga saham PT Mandala Multifinance Tbk (MFIN) turun 0,31% menjadi Rp 3.200 per saham, dan secara year to date juga melorot 24%. Adapun saham PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk (WOMF) menguat 0,57% ke level Rp 350 per saham pada Rabu (4/6), namun secara ytd terkoreksi 1,69%. Terakhir, saham PT Buana Finance Tbk (BBLD) turun 1,44% ke level Rp 685 per saham, namun secara ytd menunjukkan kenaikan 5,38%.
Menganalisis kinerja fundamental emiten multifinance, Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer, mengungkapkan bahwa pada kuartal I-2025 hasilnya masih cukup bervariasi. Ia menyoroti adanya emiten yang mampu membukukan pertumbuhan kinerja positif, sementara yang lain justru menghadapi tekanan signifikan. “Seperti emiten BFIN menunjukkan kinerja yang cukup positif, didorong efisiensi biaya dan pertumbuhan pembiayaan kendaraan bekas,” jelas Khaer kepada Kontan pada Rabu (4/6).
Berbeda dengan BFIN, beberapa emiten seperti ADMF dan BBLD dinilai masih menghadapi perlambatan pertumbuhan. Hal ini utamanya disebabkan oleh tekanan margin dan tingginya biaya dana atau cost of fund yang membebani. Secara umum, Khaer memandang bahwa beban operasional dan risiko kredit masih menjadi tantangan utama yang harus dihadapi oleh sektor multifinance.
Khaer memproyeksikan bahwa sektor multifinance secara keseluruhan masih akan bergerak stabil sepanjang tahun ini, meskipun belum sepenuhnya pulih. Ia menyebutkan bahwa beberapa tantangan eksternal masih membayangi industri, seperti tingginya rasio kredit bermasalah (non performing financing/NPF) serta lemahnya daya beli masyarakat. “Untuk tahun ini kami kira sektor multifinance masih cenderung stabil, namun belum sepenuhnya pulih karena tekanan daya beli dan masih tingginya NPF industri,” lanjutnya. Meskipun demikian, segmen yang menyasar UMKM dan pembiayaan produktif disebut tetap menjadi area yang menjanjikan, terutama jika suku bunga melanjutkan tren perbaikannya di paruh kedua tahun ini.
Clipan Finance Sebut Penurunan BI Rate Tak Langsung Berdampak ke Bunga Kredit
Rekomendasi Saham
Dari sisi analisis teknikal, Miftahul Khaer menilai bahwa saham BFI Finance Indonesia (BFIN) memiliki potensi kenaikan lebih lanjut, seiring dengan kondisi fundamental perusahaan yang relatif kuat. Berdasarkan analisisnya, Khaer merekomendasikan untuk mencermati saham BFIN dengan target harga Rp 920 per saham.
Sependapat dengan pandangan tersebut, Analis Infovesta Utama, Ekky Topan, menyebutkan bahwa kinerja sektor multifinance secara keseluruhan masih cenderung terbatas dan kalah likuid dibandingkan emiten di sektor perbankan. Ia menjelaskan bahwa terdapat sejumlah faktor yang menjadi penekan kinerja industri ini. “Perlambatan penjualan mobil, tingginya suku bunga acuan, lemahnya daya beli masyarakat, serta meningkatnya persaingan dari perusahaan fintech dan bank digital yang mulai masuk ke segmen pembiayaan konsumer,” ujar Ekky kepada Kontan, Rabu (4/6).
Per April 2025, Pembiayaan Kendaraan Bekas Multifinance Capai Rp 117,15 Triliun
Meski demikian, Ekky menilai bahwa BFIN masih menjadi salah satu emiten multifinance yang cukup menarik di tengah tekanan industri. Menurutnya, kekuatan BFIN terletak pada strategi pembiayaan tidak langsung (non-direct financing) yang mendominasi sekitar 70% dari total portofolio mereka. “Strategi ini memungkinkan BFIN lebih fleksibel dalam manajemen risiko kredit dan menjaga efisiensi operasional,” jelas dia.
Lebih lanjut, Ekky menyoroti efisiensi dan profitabilitas BFIN yang tergolong unggul di industri. Hal ini tercermin dari tingkat Return on Equity (ROE) yang konsisten berada di kisaran 20% dalam lima tahun terakhir. Namun, ia mengingatkan bahwa tantangan bagi sektor ini secara keseluruhan masih besar, terutama terkait daya beli konsumen yang belum pulih dan tekanan terhadap kualitas aset.
Penurunan BI Rate Tak Langsung Berdampak Terhadap Bunga Kredit Multifinance
Untuk prospek tahun 2025, tantangan juga disebut masih cukup besar. Proyeksi penjualan mobil diperkirakan tetap lemah seiring belum pulihnya daya beli masyarakat, sementara tekanan terhadap kualitas aset tetap ada, tercermin dari potensi peningkatan Non-Performing Loan (NPL) yang masih berlanjut. Dari sisi teknikal dan valuasi, Ekky memberikan rekomendasi buy untuk saham BFIN dengan target jangka panjang Rp 1.100 per saham, seiring dengan solidnya posisi keuangan perusahaan. “Namun, investor perlu memperhatikan dinamika makro dan sektor otomotif yang masih akan menjadi tantangan utama bagi sektor multifinance secara keseluruhan,” tutupnya.
OJK: Pembiayaan Kendaraan Baru Multifinance Terdampak Penurunan Penjualan Kendaraan
Ringkasan
Kinerja saham emiten multifinance menunjukkan pergerakan bervariasi sepanjang tahun berjalan, dengan beberapa mencatat kenaikan sementara yang lain tertekan. Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer, menyebut kinerja kuartal I-2025 masih beragam, didominasi tantangan seperti beban operasional tinggi dan risiko kredit. Sektor ini diproyeksikan stabil namun belum sepenuhnya pulih tahun ini akibat tingginya NPF dan daya beli masyarakat yang lemah.
Meskipun demikian, PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN) menonjol dengan kinerja positif, didukung efisiensi biaya dan strategi pembiayaan kendaraan bekas. Analis merekomendasikan BFIN dengan potensi kenaikan dan target harga hingga Rp 1.100 per saham. Secara keseluruhan, sektor multifinance masih menghadapi tekanan dari perlambatan penjualan mobil, suku bunga acuan tinggi, dan persaingan ketat, dengan tantangan berlanjut hingga tahun 2025.