Fenomena Solo Traveling: Lebih dari Sekadar Liburan untuk Wanita Masa Kini
Traveling sendirian, atau yang lebih dikenal dengan istilah solo traveling, kini bukan lagi monopoli kaum pria. Semakin banyak wanita yang memilih untuk menjelajahi dunia seorang diri, mengalahkan pilihan berlibur bersama teman atau pasangan.
Yang lebih menarik lagi, sebuah studi mengungkap bahwa tren solo traveling justru semakin digandrungi oleh para wanita yang sudah menikah. Bukan karena masalah rumah tangga, melainkan dorongan kuat untuk merealisasikan kemandirian, meraih pertumbuhan pribadi, dan menikmati kebebasan dalam menjelajahi dunia.
Menurut studi Booking.com pada tahun 2024, yang dilansir oleh Travel and Leisure, lebih dari 54 persen wanita menyatakan keinginan untuk melakukan perjalanan solo. Data dari Road Scholar pada tahun 2023 juga menunjukkan bahwa 60 persen solo traveler adalah wanita yang sudah menikah. Fenomena serupa juga diamati oleh Flight Centre, sebuah agen perjalanan asal Australia, yang mencatat bahwa pelanggan terbanyak mereka adalah wanita yang melakukan perjalanan seorang diri.
Dari Liburan Santai Menuju Petualangan yang Memperkaya Diri
Dahulu, solo traveling bagi wanita seringkali identik dengan liburan relaksasi di pantai atau tur mencicipi anggur. Namun, kini semakin banyak wanita yang memilih destinasi yang lebih menantang dan memberikan pengalaman mendalam, seperti Maroko, Kolombia, Mesir, hingga Kuba. Mereka mencari lebih dari sekadar liburan; mereka menginginkan pengalaman yang dapat mengubah perspektif hidup.
Stacey Ray, pendiri perusahaan travel Sisterhood Travels, mengungkapkan, “Banyak wanita merasa lelah karena terus-menerus didefinisikan sebagai ibu, istri, nenek, atau pekerja. Mereka kini berhadapan langsung dengan pertanyaan ‘kalau bukan sekarang, kapan lagi?’”
Solo Traveling Bukan Berarti Rumah Tangga Bermasalah
Keputusan untuk melakukan solo traveling tidak selalu mengindikasikan adanya masalah dalam rumah tangga. Seringkali, pilihan ini muncul karena adanya perbedaan minat atau jadwal antara pasangan. Kelly Lewis, pendiri agen perjalanan Damesly, menjelaskan bahwa sebagian besar kliennya adalah wanita menikah yang pasangannya tidak bisa atau tidak tertarik untuk ikut bepergian.
“Banyak dari mereka memiliki pasangan, tetapi tetap memilih bepergian sendiri karena pasangan mereka sibuk bekerja atau tidak tertarik dengan perjalanan,” ujarnya.
Megan Padilla, seorang penulis dan blogger perjalanan, juga mengungkapkan bahwa ia dan suaminya memiliki gaya traveling yang berbeda.
“Saya senang bersantai di kafe kecil di Roma sambil menikmati spritz. Suami saya tidak minum alkohol dan tidak terlalu tertarik pada makanan, jadi saya akan kehilangan momen-momen kecil itu jika bepergian bersamanya,” kata Megan.
Solo Traveling: Proses Penyembuhan Diri dan Penguatan Hubungan
Carrie Bell, seorang penulis asal Los Angeles, memulai perjalanan solonya sebagai bentuk penyembuhan setelah kehilangan ayahnya.
“Saya pergi ke gurun tinggi Joshua Tree dan Palm Springs. Itu menjadi momen yang sangat pribadi yang membuat saya merasa terhubung kembali dengan ayah saya,” ungkap Bell.
Baginya, solo traveling bukan hanya sekadar pelarian, tetapi juga cara untuk menjaga keseimbangan dalam pernikahan. “Waktu sendiri justru memperkuat waktu bersama,” tambahnya.
Senada dengan hal tersebut, Nancy Arehart, seorang fotografer pensiunan dari North Carolina, menyebutkan bahwa perjalanan solonya justru mempererat hubungannya dengan sang suami.
“Kami tetap menjadwalkan liburan bersama setiap tahun, tetapi juga memberikan ruang untuk solo travel masing-masing,” ujar Arehart.
Arehart telah menjelajahi lebih dari 15 negara sendirian, termasuk Antartika, Galapagos, Botswana, India, Brasil, dan Peru. Awalnya, kebutuhan untuk menjaga orang tua memaksa mereka bergantian berlibur. Namun kini, hal itu telah menjadi bagian dari gaya hidup mereka.
“Kami tidak harus selalu berada di sisi satu sama lain untuk menjaga pernikahan tetap kuat dan sehat,” ungkapnya.
Generasi Z Mulai Terinspirasi untuk Solo Traveling
Meskipun wanita usia 50-an dan 60-an menjadi pelopor tren ini, generasi yang lebih muda juga mulai mengikuti jejak mereka. Menurut laporan Travel Trends 2025 dari ASA Luxury, 58 persen wanita Gen Z tertarik untuk bepergian ke luar negeri sendirian, dan 83 persen menyebut media sosial dan selebriti sebagai sumber inspirasi utama.
Namun, inspirasi juga bisa datang dari orang-orang terdekat. Carrie Bell mengakhiri ceritanya dengan refleksi mendalam tentang nenek dari suaminya.
“Ia melakukan semua hal ‘benar’ menurut generasinya: membesarkan keluarga, mengurus rumah, tetapi tidak pernah bepergian karena suaminya tidak mau. Setelah suaminya meninggal, ia menyadari bahwa belum pernah keluar dari kota asalnya. Hal itu membuat saya sadar: lebih baik makan malam sendirian dan dikira kasihan oleh pelayan daripada melewatkan pengalaman hidup karena pasangan saya tidak bisa ikut,” tutup Bell, memberikan pesan yang kuat tentang pentingnya mengikuti kata hati dan mewujudkan impian, tanpa terikat oleh batasan.
Ringkasan
Sebuah studi mengungkap bahwa solo traveling semakin populer di kalangan wanita menikah. Hal ini bukan karena masalah rumah tangga, melainkan keinginan untuk mandiri, berkembang, dan menikmati kebebasan. Studi Booking.com (2024) menunjukkan lebih dari 54% wanita ingin melakukan perjalanan solo, dan data Road Scholar (2023) mengungkap 60% solo traveler adalah wanita menikah.
Keputusan solo traveling seringkali karena perbedaan minat atau jadwal pasangan, bukan masalah pernikahan. Pengalaman ini memberikan kesempatan untuk penyembuhan diri, penguatan hubungan, dan mewujudkan impian pribadi. Generasi Z juga mulai terinspirasi solo traveling, dengan media sosial dan selebriti sebagai sumber utama.