Sebelumnya, tak pernah terpikirkan bisa mengikuti acara kunjungan di Desa Sejahtera Astra Bumiaji, Kota Batu. Jujur saja, saya hanya iseng-iseng mendaftar. Tapi ternyata, saya bisa turut ambil bagian sebagai peserta. Rasanya excited, bisa jalan-jalan bareng teman kompasiana lainnya. Apalagi, Desa Sejahtera Astra Bumiaji ini katanya mempunyai keistimewaan tersendiri daripada desa pada umumnya.
Awal kegiatan, disambut dengan pembicaraan tiga orang tokoh yang sungguh luar biasa. Mas Nurullah, dengan bakat menulisnya, berbagi ilmu dengan kami para penulis ini. Kutipan mas Nurullah, yang masih melekat di saya itu bahwa “Tak hanya penulis ahli yang bisa membuat karya, orang awam pun bisa menciptakan karyanya yang bisa berdampak bagi lingkungan selama dirinya memiliki kejujuran.” Di zaman yang amat canggih ini, mudah saja membuat karya tanpa perlu capek mikir. Tapi tentu saja karya nya tak memiliki perasaan sang penulis.
Sama seperti mas Nurullah, pembicara kedua ini memiliki bakat yang tak kalah apiknya. Mas Yudha, seorang fotografer muda bisa meraih penghargaan World Press Photo Award 2025. Wow! Jujur, meski saya bukan mas Yudha itu sendiri, tapi merasa keren melihatnya meraih penghargaan menakjubkan itu. Perjalanan yang tentu tak kan mudah. Apalagi, dengan beraneka ragam teknologi buatan atau AI, hanya dengan menuliskan prompt yang kita inginkan, bisa menjadi sebuah gambaran yang terlihat nyata. Namun dengan anugerah yang dimiliki, mas Yudha ini bisa menaklukkannya.
Memang benar, AI itu memudahkan kita. Semua serba mudah dan praktis. Tapi soal fotografi, AI tetap tak bisa menandingi karya yang dilahirkan dengan tangan sendiri. Mengutip perkataan mas Yudha, bahwa “AI tidak bisa menggantikan keterlibatan seorang jurnalistik. Hasil karya yang dibuat oleh AI masih terlihat hampa.”
Pembicara ketiga, seorang wanita cantik dengan ide-ide kreatifnya yang sangat di luar nalar. Kekreatifan nya membawa dampak bagi Desa Bumiaji menjadi desa edukasi dengan berbagai kebudayaan. Mbak Anjani Sekar Arum, seorang penggerak Desa Bumiaji, yang sebenarnya bukan warga desa itu sendiri. Tentu tak mudah, bisa menghadapi begitu banyak orang, dengan kepribadian dan pemahaman yang berbeda-beda. Dengan seluruh ketangguhan yang dimilikinya, mbak Anjani bisa mencapai semua itu.
Terlahir dan dikelilingi dengan banyak pelukis-pelukis ahli, mbak Anjani ingin menciptakan karya yang beda dari keluarganya. Dengan bakat turunan dari kedua orang tuanya, ia mendirikan pendidikan membatik di Desa Bumiaji, di tahun 2014. Tiap tahunnya, mbak Anjani membuat program-program baru bagi komunitas membatiknya. Termasuk mendirikan organisasi pembatik cilik di Desa Bumiaji. Tak hanya itu, di tahun 2018, mbak Anjani ini mengembangkan Desa Bumiaji menjadi desa wisata membatik. Ramai-ramai orang mengunjungi tempat itu, untuk menyaksikan hasil karya warga Desa Bumiaji.
Memiliki komitmen kuat untuk melestarikan budaya bantengan, mbak Anjani menciptakan batik dengan memuat berbagai perintilan dari bantengan. Seperti, batik dengan motif banteng, dupa, bunga yang digunakan selama bantengan, dan lain sebagainya. Dirinya ingin membuat pandangan yang berbeda terkait bantengan. Lantaran berbagai orang melihat seni bantengan sebagai seni yang barbar dan sangat terikat dengan hal gaib, mbak Anjani mengajak kami untuk melihat seni bantengan ini seperti seni tradisional lainnya yang harus tetap dilestarikan.
Setelah dibuat melongo dengan pernyataan-pernyataan mas Nurrullah, mas Yudha, dan mbak Anjani, kami diajak untuk berjalan-jalan mengelilingi Desa Sejahtera Astra Bumiaji. Tempatnya begitu luas, tak mungkin berjalan kaki. Kita menaiki Tayo untuk melihat-lihat keindahan Desa Sejahtera Astra Bumiaji. Asri, sejuk, guyub dan rukun. Perjalanan kami disambut senyuman hangat oleh warga desa. Rasanya ingin tinggal di Desa Bumiaji saja, tak mau pulang ke rumah.
Begitu banyak tempat yang kami kunjungi. Pertama, kami mengunjungi Bagus Agriseta Mandiri. Tempat produksinya keripik apel. Di sana kami diajak untuk melihat proses pengolahan hingga pengemasan keripik apel yang tentunya dibuat dengan jerih payah warga Desa Bumiaji itu sendiri. Selama prosesnya kebanyakan dibuat dengan tangan sendiri, tak banyak menggunakan teknologi mesin. Hanya pada proses tertentu saja.
Tempat kedua, kami mengunjungi Pie dan Pia. Baru masuk gang saja, sudah disambut dengan pohon-pohon jeruk yang cantik. Wah, menggugah selera makan haha. Di sana kami melihat rangkaian proses pembuatan pie dan pia. Tak hanya melihat kami pun diajak untuk merasakan pie dan pia yang baru saja dibuat. Percampuran gurihnya pia dan manisnga apel, yang terasa seperti makan buah apel asli.
Selanjutnya kami beranjak ke Orange Cake. Di sana kami diajak melihat proses produksi Orange Cake. Selera makanku semakin meningkat, melihat jejeran kue jeruk. Terlihat manis dan nikmat hanya dengan melihat di etalase saja. Kemudian, kami berjalan sesikit untuk melihat wisata petik jambu kristal. Pohon-pohon jambu kristal berjejeran elok. Angin beehembus membuat aroma jambu kristal yang manis semakin bertebaran.
Terakhir kami melihat seni bantengan yang dimainkan sengan segerombolan anak desa Bumiaji. Jujur saja takut rasanya, karena ini kali pertama saya melihat bantengan. Kebanyakan orang menganggap bantengan adalah seni tradisional yang sangat kental dengan hal gaib. Meski dengan sedikit rasa takut, saya takjub dengan pertunjukannya. Sungguh elok dan keren mbak Anjani bisa mengemas seni bantengan menjadi sedemikian rupa. Mbak Anjani adalah sesosok wanita yang memotivasi saya untuk bisa menjadi wanita yang tangguh dan menghasilkan dampak yang baik bagi lingkungan.
Dengan perjalanan ini, saya merasa terinspirasi untuk menggerakkan kampungku menjadi kampung yang berdaya dan berseri seperti yang dilakukan oleh Mbak Anjani.