Hari semakin sore ketika mobil kami memasuki kawasan De Karanganjar Koffieplantage Blitar. Ini adalah destinasi ketiga kami dalam perjalanan sehari di Blitar setelah Kampung Coklat dan Museum Bung Karno.
Diiringi hujan yang begitu deras dan langit yang agak gelap kami segera menuju pintu masuk lokasi De Karanganjar Koffieplantage Blitar, atau Perkebunan Kopi Karanganjar yang berlokasi di Karanganjar Timur, Modangan, Nglegok Blitar.
Yang dinamakan pintu masuk bentuknya adalah serupa pintu gerbang besar yang dibukakan oleh penjaga yang bertugas di dalamnya.
Dari informasi yang kami dapatkan di tempat ini kami bisa menemukan cafe, museum dan rumah Lodji.
Sesudah membeli tiket masuk yang berbentuk kartu pos, kami segera masuk. Karena perut sudah lapar, tujuan pertama kami adalah cafe.
Sebenarnya untuk masuk ke cafe kami harus berjalan kaki, tapi karena cuaca kurang mendukung sore itu mobil kami dipersilakan masuk dan parkir tidak jauh dari cafe.
Van Harte Welkom in Onze Grootouders Cafe. Sebuah tulisan menyambut kedatangan kami di dekat pintu masuk. Artinya kurang lebih dengan sepenuh hati selamat datang di Onze Grootouders Cafe. Onze Grootouders sendiri bisa diartikan Our Grandparents.
Begitu masuk cafe suasana tempo dulu langsung terasa. Deretan buku-buku, lukisan dan hiasan , termasuk juga radio, mesin hitung zaman dulu dan berbagai pernak pernik sangat menunjang tampilan lawas cafe ini.
“Ayo kita duduk dulu, pesan makanan, lalu silakan jalan- jalan,” kata leader kami.
Setelah pesanan beres kamipun berjalan- jalan di sekitar cafe. Hanya bertiga, saya, Kimi anggota terkecil dari rombongan kami dan Mbak Ayu seorang penulis novel sejarah.
Saya dan Mbak Ayu sama-sama mempunyai ketertarikan dengan hal-hal yang berbau sejarah. Ini adalah kunjungan kedua Mbak Ayu ke Karanganjar, karenanya banyak dokumentasi di artikel ini saya dapatkan darinya saat kunjungan pertama di mana cuaca sangat cerah.
Dari informasi yang ada De Karanganjar Koffieplantage ini berdiri sejak tahun 1874 dan termasuk salah satu perkebunan kopi tertua di Indonesia.
Pada era Kolonial Belanda, Blitar yang berada dekat gunung Kelud dijadikan salah satu daerah pusat pengembangan kopi di Jawa Timur. Saat itu banyak perkebunan kopi dibuka dan salah satunya adalah De Karanganjar.
De Karanganjar Koffieplantage didirikan oleh H. J. Velsink dan Hendrik Van Vredenberg kemudian dikelola oleh perusahaan Belanda NV. Kultuur Mij Karanganjar. Pada tahun 1957 perkebunan ini dinasionalisasi oleh Sukarno, presiden pertama RI.
Dari cafe kami terus berjalan memasuki Roemah Lodji. Lodji berasal dari kata lodge yang artinya benteng. Tentu saja bangunannya bukan berupa benteng, mungkin lodge di sini merujuk pada bangunan yang besar.
De Karanganjar Koffieplantage didirikan oleh H. J. Velsink dan Hendrik Van Vredenberg kemudian dikelola oleh perusahaan Belanda NV. Kultuur Mij Karanganjar dan dinasionalisasi pada tahun 1957
Di Rumah Lodji ini kita bisa mengenal lebih dekat Keluarga Roeshadi yang telah tiga generasi mengelola perkebunan ini lewat berbagai koleksi barang-barangnya.
Suasana ‘lain’ sangat terasa. Apalagi ada sayup- sayup suara gending yang menemani perjalanan kami. Hujan yang turun semakin deras membuat suasana sepi kian terasa
Kimi yang berjalan di dekat saya memegang tangan saya erat-erat. “Kok serem ya..,” bisiknya.
Satu hal menarik di Rumah Lodji ini adalah adanya kamar yang didedikasikan untuk Presiden Sukarno, yang pada tahun 1957 datang dan beristirahat di De Karanganjar Koffieplantage selama beberapa jam.
Dari Rumah Lodji kami masuk Moesioem Noegroho. Nama museum ini diambil dari nama salah satu pemilik perkebunan ini yaitu Herry Noegroho.
Barang koleksi di museum ini sebagian besar milik Herry Noegroho dan puteranya Wima Brahmantya yang pernah menjadi ketua Dewan Kesenian Kabupaten Blitar.
Herry Noegroho sendiri pernah menjabat sebagai Bupati Blitar pada tahun 2005- 2016.
Di dalam museum ini banyak terdapat koleksi benda-benda pusaka milik leluhur juga lukisan lukisan yang cantik. Satu hal yang menarik adalah adanya koleksi Batik Tutur asli Blitar yang pernah dibawa ke Negeri Belanda selama satu abad lebih.
Dari museum kami segera menuju ke cafe. Di luar rupanya ada acara perkemahan dari sebuah komunitas anak-anak. Ya, De Karanganjar Koffieplantage ini memang bisa menjadi destinasi wisata edukasi, karena di sini kita juga bisa belajar budidaya dan pengolahan kopi.
Kembali ke cafe, ternyata pesanan kami sudah siap. Berbagai macam makanan sudah menunggu demikian juga minuman hangat.
Kami langsung makan. Hawa yang dingin membuat lapar kian terasa, dan membuat kami makan dengan lahap.
Satu hal yang menarik, peracik makanan bahkan yang menyajikan makanan di sini adalah orang bule.
Oh ya, kami sempat berkenalan dengan Benita, salah seorang bule asal Jerman yang sedang mengisi liburan di Indonesia dengan menjadi volunteer.
Untungnya leader kami, Ibu Arie adalah guru Bahasa Inggris, sehingga pembicaraan kami dan Benita terasa demikian hangat.
Ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah lima, cafe sudah tidak menerima pesanan makanan dan minuman, karena pukul lima cafe sudah ditutup.
Setelah puas makan dan berkeliling , kami segera beranjak dari Onze Grootouders Cafe untuk menuju mobil. Kian sore hawa dingin kian terasa.
Hujan masih turun begitu deras.
Mobil kami terus berjalan meninggalkan halaman De Karanganjar Koffieplantage. Sebuah cafe di antara perkebunan kopi yang dikemas dengan nuansa sejarah yang demikian kental.
Berjalan di area ini membuat kita seolah terlempar ke masa lalu menyusuri jejak peristiwa yang pernah terjadi Blitar era kolonial Belanda.
Blitar ternyata punya banyak cerita. Sebenarnya kami ingin terus menjelajah, tapi karena waktu jua yang membuat kami harus segera balik ke Malang.
“Pulang?” tanya Kimi. Rupanya ia sudah mulai lelah dan mengantuk.
“Ya, kita pulang,” kata saya sambil tersenyum.
Mobil kami terus melaju melalui jalan yang berkelok-kelok.
Berjalan-jalan sehari di Blitar memang lelah, tapi sangat menyenangkan. Kampung Coklat, Museum Bung Karno, De Karanganjar Koffieplantage, semua punya cerita sendiri-sendiri bagaikan mozaik yang memperindah tampilan kota ini.
Menurut rencana sebenarnya satu destinasi lagi akan kami datangi yaitu Candi Penataran. Tapi waktu tidak memungkinkan, karena sebentar lagi langit akan gelap.
Matahari perlahan tenggelam, dan deretan pohon seakan berlarian di kiri kanan jalan. Perjalanan yang sungguh meninggalkan kesan yang begitu dalam. Dengan senyum lelah namun puas, kami pun pulang, membawa pulang kenangan manis serta berbagai cerita dalam ingatan.
Sampai jumpa lagi Blitar, kota kecil dengan jiwa besar yang siap ditelusuri lebih dalam lagi di lain kesempatan.
Blitar, kami akan kembali.