Mendaki Gunung Panderman Karena Terpaksa, Ternyata Aku Bisa!

Ade Banteng

Naik gunung alias mendaki gunung sedang ngetren. Bukan apa-apa, ini justru karena safety atau keamanannya. Tentu teman-teman pembaca sudah dapat menebak arah pembicaraan saya, bukan? Betul. Naik gunung jadi sering dibicarakan orang karena unsur safety (tubuh yang lelah) yang kurang diantisipasi, sehingga ada korban jatuh dari ketinggian salah satu gunung di Indonesia.

Keamanan adalah unsur paling utama dalam sebuah pendakian. Aman tentu dari sisi stamina yang cukup, peralatan yang memadai, outfit yang melindungi dan teman mendaki/guide yang berpengalaman. Tanpa itu semua, kamu sebaiknya berpikir ulang untuk naik.

Sejak peristiwa jatuhnya wisatawan dari Brazil saat pendakian di Gunung Rinjani, banyak orang terinspirasi untuk menuliskan pengalaman pendakian mereka. Saya sudah membaca pengalaman salah satu teman Facebook dalam mendaki Gunung Ijen; dan tadi sebelum menulis artikel ini saya juga membaca artikel Pak Chaerul Sabara tentang pengalaman beliau mendaki Gunung Panderman.

 Kisah-kisah pengalaman yang dituturkan ini sangat bermanfaat karena pada intinya semua mengingatkan bahwa naik gunung itu bukan sekadar untuk gagah-gagahan atau bisa-bisaan saja. Naik gunung butuh persiapan dan kehati-hatian!

Saat membaca status teman di Facebook tentang bagaimana dia mendaki Gunung Ijen, tiba-tiba saya teringat pengalaman puluhan tahun silam. Ternyata saya juga pernah naik gunung! Tidak setinggi Ijen. Bahkan Gunung ini dikatakan sebagai gunung yang tingkat kesulitan pendakiannya rendah (Chaerul Sabara, 2025). Gunung yang pernah saya daki tersebut adalah Gunung Panderman.

Saya jadi manggut-manggut membaca artikel Pak Chaerul, karena saya merasa waktu mendaki Panderman dulu memang tidak ada kesulitan yang berarti, ciee. Ini saya bandingkan dengan jalanan sempit berpasir yang kanan kiri jurang seperti Gunung Rinjani, lho. Panderman relatif lebih datar. Kalaupun ada jalanan menanjak, tidak ada lereng yang terlalu curam.  

Jadi ceritanya, saya berkesempatan mendaki Panderman saat saya kelas 1 SMA. Wuih, keren, ya … masih kinyis-kinyis, muda belia hahaha.

Waktu itu saya mengambil extrakurikuler Pencak Silat. Nah, acara ke Panderman itu adalah kegiatan olah fisik sekaligus semacam Opspek untuk anggota baru. Demikian kalau tak salah ingat, hehehe.

Karena kegiatannya sudah lama sekali, saya sampai harus menghubungi teman SMA saya untuk menanyakan detail kegiatan tersebut. Dia juga lupa, tapi lebih banyak yang dia bisa ingat daripada saya.

Kami pergi berombongan dari Malang. Gunung Panderman sendiri terletak di Kota Batu. Saya lupa bagaimana kami turun dari kendaraan lalu berjalan menuju gunung. Yang saya ingat penggalan peristiwa saat kami sudah mulai mendaki. Saya waktu itu betul-betul ngos-ngosan, tapi tiap ada jalan datar, saya lari. Saya juga ingat bahwa saya ditertawakan oleh kakak-kakak senior. Sepertinya saya junior yang paling lemes jalannya. Saat jalan mendaki, seorang senior menawarkan ‘menarik’ tangan saya agar saya sedikit terbantu.

Jangan membayangkan adegan romantis ya,  itu bukan ftv. Kakak senior itu mengambil sebatang dahan kering, lalu saya disuruhnya pegang salah satu ujungnya. Dia pegang ujung yang lain, lalu berjalan mendahului saya. Saya menjadi lebih ringan melangkah karena  metode tarik menarik tersebut.

Saking lamanya, saya bahkan tak ingat apakah kami sampai puncak atau tidak. Tapi menurut cerita Arci (teman yang sempat saya chat saat menulis artikel ini), kami waktu itu sampai di puncak dan istirahat. Samar-samar saya ingat bahwa saya cuek berbaring telentang di tanah, karena merasa sudah capai sekujur badan.

Masih menurut Arci, kami lalu buru-buru disuruh turun karena ada petir. Betul juga seingat saya memang waktu itu hujan rintik saat kami berada di puncak. Tapi dalam perjalanan turun hujan mereda dengan sendirinya.

Saat turun, saya tidak lagi ditarik oleh senior … ya iyalah, kalau jalanan turun ditarik, bisa-bisa malah nyungsep. Saya ingat banget waktu turun ini badan saya sudah segar dan saya beberapa kali berlari hingga salah satu senior komen: “Gaya banget sudah bisa lari-lari, awas nanti kecapaian lagi.”

Soalnya kondisi saya saat naik dan saat turun memang berbeda 180 derajat. Saat naik, saya benar-benar lemas seperti tak kuat lagi menghadapi derita naik gunung. Tapi pas turun sombong bangeeet, kayak sudah nggak butuh juga sama kakak senior kharismatik yang tadi narik tangan saya. Hahaha, maaf namanya remaja belasan tahun, lagi labil-labilnya dan sering songong.

Kesimpulan dari pendakian Gunung Panderman jutaan tahun lampau (ini gaya bahasa majas hiperbola), adalah:

1. Adakalanya kamu naik gunung bukan karena kamu suka, bukan karena ingin melihat landscape yang indah – tapi karena terpaksa soalnya extrakurikuler yang kamu pilih ternyata suka ngetes fisik anggota baru dengan ‘jalan santai’ di gunung.

2. Walaupun Gunung Panderman adalah gunung yang relatif aman didaki, namun persiapan mendaki gunung ini tetap harus matang. Jangan lupa bawa air minum, snack kecil dan obat-obatan untuk kebutuhan darurat.

3. Mendaki harus ditemani tenaga profesional atau paling tidak ditemani senior yang sudah berkali-kali mendaki gunung tersebut. Seperti saya di masa orientasi ekskul Pencak Silat, situasi dan kondisi benar-benar aman karena senior yang mendampingi cukup banyak dan mereka terlihat jelas menguasai medan (mungkin sudah sering bikin kegiatan serupa di Gunung Panderman).

4. Jangan lupa untuk mengambil gambar saat naik gunung untuk kenangan. Kalau hanya teman kamu yang bawa kamera, pastikan kamu dikirimi semua filenya. Saya naik Gunung Panderman di saat kita masih memotret menggunakan klise. Seingat saya waktu itu ada dokumentasi, namun saya tak punya satu pun. Berarti dulu saya tidak ikut afdruk foto. Padahal selembar foto sedang mejeng di Puncak Panderman, atau dalam pose keringatan terjelek sekalipun, tetap penting untuk disimpan dan sewaktu-waktu dapat diunggah di momen yang tepat. Misalnya untuk menghiasi artikel di Kompasiana, hehehe.

5. Keselamatanmu saat mendaki, adalah rezeki dari Allah. Seaman-amannya sebuah gunung, kecelakaan kecil atau besar, selalu dapat terjadi. Jadi tidak perlu jumawa, jalani saja pendakian dengan sebaik-baiknya sampai pulang ke rumah dengan selamat.

6. Apapun bisa terjadi di gunung. Kalau kamu capai, atau merasa sakit di bagian tubuh tertentu, segera laporkan pada pemandu profesional yang menemani kita.  Seorang profesional akan tahu apa yang harus dilakukan saat kondisi darurat terjadi.

Begitulah kiranya, kisah dan kesimpulan yang bisa diambil dari pendakian saya ke Gunung Panderman puluhan tahun lalu. Highlightnya: mendaki gunung tidak boleh jumawa, lakukan dengan tenang. Ajak teman-teman yang menguasai medan, untuk sama-sama naik gunung. Last but not least: Jangan mengambil apapun kecuali gambar/foto, jangan membunuh apapun kecuali waktu, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak. Salam Lestari.

Baca Juga

Bagikan: