Rancak Media – , Jakarta – Wacana pemerintah untuk mengecilkan ukuran bangunan rumah tapak subsidi menjadi minimal 18 meter persegi menuai kritik tajam. Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menegaskan bahwa ukuran rumah yang paling manusiawi seharusnya minimal 30 meter persegi. Meskipun standar minimal ruang gerak per orang adalah 9 meter persegi, Yayat berpendapat bahwa pemerintah tidak seharusnya berpegangan pada batas minimal tersebut.
Yayat menilai bahwa rumah tipe 18 meter persegi sangat kurang manusiawi dan tidak memperhatikan aspek housing caring. Baginya, rumah bukan sekadar perhitungan rasional semata, melainkan sebuah ruang kehidupan yang membentuk kesejahteraan individu. Aspek housing caring sendiri merujuk pada berbagai faktor dalam perumahan yang esensial bagi kenyamanan dan kualitas hidup penghuninya.
Idealnya, menurut Yayat, ukuran rumah subsidi seharusnya dipatok paling tidak 36 meter persegi. Ukuran ini didasarkan pada asumsi bahwa satu rumah akan dihuni oleh sebuah keluarga dengan dua orang anak, sehingga memenuhi standar ruang gerak 9 meter persegi per orang. Lebih jauh, ia menyarankan agar luas bangunan bisa diatur hingga 60 meter persegi untuk mengakomodasi standar housing caring yang lebih baik, memungkinkan ruang penyimpanan yang memadai atau potensi penambahan kamar. “Ini proporsional dan manusiawi,” kata Yayat.
Aturan yang berlaku saat ini, berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 689/KPTS/M/2023, menetapkan luas tanah rumah tapak subsidi minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi, dengan luas bangunan minimal 21 meter persegi hingga 36 meter persegi. Namun, draf Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Kepmen PKP) Nomor/KPTS/M/2025 mengusulkan pengurangan signifikan, yaitu luas tanah minimal 25 meter persegi dan luas bangunan minimal 18 meter persegi.
Merespons draf tersebut, Yayat mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan ini. Daripada melanjutkan aturan minimal 18 meter persegi dengan alasan keterbatasan lahan di perkotaan, ia menyarankan pengembangan hunian vertikal. Jika masyarakat masih belum terbiasa dengan konsep rumah susun, pemerintah perlu memberikan insentif agar hunian vertikal menjadi lebih menarik. “Lebih manusiawi. Daripada menyiksa orang dengan keterbatasan, lebih baik diarahkan ke rumah susun,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri PKP Maruarar Sirait, atau akrab disapa Ara, menjelaskan bahwa rancangan aturan ukuran rumah subsidi minimal 18 meter persegi dirancang untuk mendorong pembangunan rumah subsidi di tengah keterbatasan lahan di perkotaan. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk memberikan lebih banyak pilihan rumah murah bagi masyarakat. Kendati demikian, Ara mengklaim bahwa belum ada keputusan final terkait rancangan aturan baru ini. “Ini tahapan masukan, draf. Kritik saran diperkenankan,” ujar Ara pada Selasa, 17 Juni 2025.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya berpendapat bahwa rumah ukuran 18 meter persegi masih memungkinkan untuk dibangun, terutama jika mengacu pada standar minimal ruang gerak 9 meter persegi per orang. Menurutnya, ukuran ini cocok untuk pasangan yang baru menikah atau keluarga tanpa anak. Namun, Bambang menyarankan pemerintah agar penerapan aturan minimal 18 meter persegi ini diterapkan secara terbatas. Misalnya, hanya boleh dibangun dalam radius 20 kilometer dari pusat kota, sementara di luar itu tetap minimal 21 meter persegi.
Pilihan Editor: Calon Barang Kena Cukai: dari Tiket Konser Musik hingga Rumah
Ringkasan
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengkritik wacana rumah tapak subsidi minimal 18 meter persegi, menyebutnya tidak manusiawi dan mengabaikan aspek housing caring. Ia menegaskan ukuran ideal minimal adalah 30 meter persegi, atau 36 meter persegi bagi keluarga dengan dua anak. Aturan yang berlaku saat ini menetapkan luas bangunan minimal 21-36 meter persegi, sementara draf terbaru mengusulkan pengurangan signifikan menjadi 18 meter persegi.
Menteri PKP Maruarar Sirait menjelaskan draf tersebut bertujuan mengatasi keterbatasan lahan di perkotaan dan menyediakan pilihan rumah murah, namun menegaskan ini belum keputusan final. Yayat mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan hunian vertikal sebagai solusi yang lebih manusiawi. Wakil Ketua Umum REI, Bambang Ekajaya, berpendapat rumah 18 meter persegi cocok untuk pasangan baru, namun menyarankan penerapan terbatas di area tertentu.