Paritas Daya Beli: Definisi, Rumus, dan Contohnya

Ade Banteng

Rancak Media – , Jakarta – Bank Dunia telah memperbarui tolok ukur kemiskinan globalnya, kini menggunakan data paritas daya beli (purchasing power parity atau PPP) tahun 2021 yang dirilis oleh International Comparison Program pada Mei 2024. Pembaruan ini menandai penggantian data PPP tahun 2017 yang sebelumnya menjadi acuan, dengan tujuan utama untuk memperoleh jumlah kemiskinan terbaru yang lebih akurat dan relevan secara global.

Paritas Daya Beli (PPP), sebagaimana dijelaskan oleh Bank OCBC, adalah sebuah konsep ekonomi makro fundamental yang digunakan untuk membandingkan produktivitas dan standar hidup antarnegara. Metode ini bekerja melalui penyeimbangan mata uang dan harga suatu barang yang identik di dua negara berbeda. Secara teoritis, PPP mengasumsikan bahwa barang-barang serupa akan memiliki harga yang setara di berbagai negara, dengan perbedaan harga yang ada semata-mata ditentukan oleh nilai tukar nominal mata uangnya.

Nilai teoritis Paritas Daya Beli memiliki aplikasi praktis yang signifikan, terutama bagi pelaku perdagangan mata uang asing serta investor saham atau obligasi asing. PPP dapat membantu mereka memprediksi fluktuasi mata uang internasional dan mengelola risiko yang mungkin timbul. Menurut Pilbeam (2006), teori Paritas Daya Beli dapat didekati melalui dua metode utama: secara absolut dan relatif.

Dalam pendekatan Paritas Daya Beli absolut, nilai tukar mata uang ditentukan dengan membandingkan harga sekelompok produk yang serupa antara satu negara dengan negara lain. Sementara itu, pada teori Paritas Daya Beli relatif, Pilbeam (2006) menjelaskan bahwa nilai tukar ditetapkan berdasarkan perbedaan tingkat inflasi yang terjadi di dua negara yang saling bertransaksi atau berdagang.

Penerapan Paritas Daya Beli menawarkan sejumlah keunggulan yang menjadikannya alat penting dalam analisis ekonomi global. PPP memungkinkan perbandingan data-data ekonomi antarnegara menjadi lebih relevan dan akurat. Selain itu, PPP berfungsi sebagai tolok ukur yang efektif untuk mengidentifikasi tren ekonomi dalam jangka waktu panjang, serta memfasilitasi perbandingan yang lebih mudah, terutama jika suatu negara memanipulasi nilai tukarnya atau ketika terjadi serangan spekulatif pasar.

Meskipun memiliki berbagai keuntungan, teori Paritas Daya Beli juga tidak luput dari beberapa kelemahan yang perlu dipertimbangkan. Salah satu kendalanya adalah tidak memperhitungkan perbedaan kualitas suatu barang yang dianggap serupa di negara satu dan lainnya. Selain itu, selera dan preferensi konsumen cenderung bervariasi antarnegara, yang dapat memengaruhi perbandingan harga. Teori ini juga dianggap kurang realistis karena tidak mempertimbangkan kendala dalam perdagangan internasional, seperti biaya transportasi dan hambatan perdagangan, serta ketersediaan produk yang kurang merata di seluruh wilayah.

Dengan perhitungan terbaru berdasarkan PPP 2021, Bank Dunia telah menetapkan batas garis kemiskinan dunia yang baru. Batas garis kemiskinan global yang semula US$2,15 per kapita per hari kini meningkat menjadi US$3. Sementara itu, untuk negara berpendapatan menengah bawah, garis kemiskinan naik dari US$3,65 menjadi US$4,20 per kapita per hari. Begitu pula, bagi negara berpendapatan menengah atas, batas ini meningkat dari US$6,85 menjadi US$8,30 per kapita per hari.

Perlu dicatat bahwa perhitungan jumlah masyarakat miskin Bank Dunia yang menggunakan pendekatan PPP 2021 ini sangat berbeda dengan standar yang diterapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia. BPS mengukur garis kemiskinan nasional dengan pendekatan kebutuhan dasar (cost of basic needs atau CBN), yaitu pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.

Berdasarkan data kebutuhan dasar, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional saat ini berada di level Rp595.242 per orang per hari atau Rp2.803.590 per rumah tangga miskin. Hal ini menjelaskan mengapa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024, yang tercatat sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa, terpaut jauh dari data Bank Dunia yang mengindikasikan ada 194 juta orang miskin di Indonesia. Perbedaan metodologi ini menjadi kunci disparitas angka antara kedua lembaga tersebut.

Anastasya Lavenia Y dan Antara berkontribusi dalam artikel ini.

Pilihan Editor: Kemiskinan Ekstrem di Indonesia Naik Menjadi 15,42 Juta Jiwa

Ringkasan

Bank Dunia telah memperbarui tolok ukur kemiskinan globalnya menggunakan data Paritas Daya Beli (PPP) tahun 2021, menggantikan data 2017, untuk akurasi yang lebih baik. PPP adalah sebuah konsep ekonomi makro yang membandingkan produktivitas dan standar hidup antarnegara melalui penyeimbangan mata uang dan harga barang identik. Metode ini dapat didekati secara absolut, yaitu membandingkan harga sekelompok produk serupa, atau secara relatif, berdasarkan perbedaan tingkat inflasi antarnegara.

Meskipun PPP menawarkan keunggulan dalam perbandingan data ekonomi global dan identifikasi tren jangka panjang, teori ini memiliki kelemahan karena tidak memperhitungkan perbedaan kualitas barang, selera konsumen, atau hambatan perdagangan. Dengan perhitungan PPP 2021, Bank Dunia telah menaikkan batas garis kemiskinan global menjadi US$3 per hari. Perhitungan ini berbeda signifikan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia, yang menggunakan pendekatan kebutuhan dasar dan menghasilkan angka kemiskinan yang berbeda jauh.

Baca Juga

Bagikan:

Tags