ESDM: PT GAG Nikel Bersih dari Pelanggaran? Ini Hasil Investigasinya!

Ade Banteng

Rancak Media – , Jakarta – Kontroversi seputar aktivitas penambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, semakin memanas. Setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menghentikan sementara operasional PT GAG Nikel pada 5 Juni 2025 sebagai respons atas laporan masyarakat terkait potensi dampak terhadap kawasan wisata Raja Ampat, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyatakan hal sebaliknya. Menurut Tri, kegiatan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk tersebut tidak menunjukkan indikasi pelanggaran.

Tri Winarno, setelah mengunjungi lokasi tambang, menegaskan bahwa aktivitas PT GAG Nikel berjalan sesuai ketentuan dan tidak menyebabkan sedimentasi di area pesisir. “Kita lihat langsung dari udara, tidak ada sedimentasi. Secara keseluruhan, tambang ini tidak bermasalah,” ujar Tri pada Sabtu, 7 Juni 2025. Ia juga menambahkan bahwa upaya reklamasi di area tambang telah berjalan dengan baik. Meskipun demikian, Kementerian ESDM tetap mengerahkan Inspektur Tambang untuk mengevaluasi sejumlah Wilayah Izin Usaha Pertambangan di Raja Ampat, dengan hasil inspeksi yang akan menjadi bahan pertimbangan keputusan lebih lanjut.

Di Kabupaten Raja Ampat, terdapat lima perusahaan pemegang izin usaha tambang. Namun, Tri menyebutkan bahwa hanya PT GAG Nikel yang saat ini aktif memproduksi nikel. Perusahaan ini mengantongi izin berupa Kontrak Karya, terdaftar di aplikasi Mineral One Data Indonesia dengan nomor akta perizinan 430.K/30/DJB/2017, dan memiliki izin usaha seluas 13.136 hektare.

Di sisi lain, laporan masyarakat dan kritik keras terus bermunculan. Greenpeace Indonesia, misalnya, menyoroti dampak lingkungan serius dari aktivitas tambang ini. Penelusuran organisasi tersebut mengungkapkan bahwa pertambangan di tiga pulau—Pulau Gag, Kawe, dan Manuran—telah merusak lebih dari 500 hektare hutan. Lebih lanjut, mereka menemukan adanya limpasan tanah dari area tambang yang mengalir langsung ke laut, menimbulkan kekhawatiran besar terhadap ekosistem perairan Raja Ampat.

Kepala Kampanye Hutan Greenpeace, Kiki Taufik, menegaskan bahwa di Raja Ampat, dua pulau lain, yaitu Batang Pele dan Manyaifun, juga terpantau menjadi lokasi eksploitasi nikel. Kiki menekankan bahwa pulau-pulau kecil seharusnya dilindungi dari aktivitas tambang, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang jelas melarang praktik tersebut di kawasan vital seperti Raja Ampat.

Penolakan terhadap ekspansi tambang nikel juga datang dari Aliansi Jaga Alam Raja Ampat. Koordinator aliansi, Yoppy L. Mambrasar, menyatakan penolakan tegas terhadap rencana ekspansi di Pulau Batang Pele dan Manyaifun, mengingat letak kedua pulau yang sangat dekat dengan kawasan konservasi. Yoppy mengkritik keras kegagalan pemerintah dalam melindungi pulau-pulau kecil dari industri ekstraktif, yang ia sebut membuat “wajah pariwisata Raja Ampat kini mulai bertubuh tambang.”

Yoppy juga menegaskan bahwa operasi tambang di pulau-pulau kecil melanggar berbagai regulasi lingkungan yang berlaku, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023. Ia memperingatkan bahwa jika eksploitasi nikel terus dibiarkan, kerusakan lingkungan akan semakin parah dan merugikan generasi mendatang. “Kami tidak menolak pembangunan, tapi kami ingin pembangunan yang adil dan berpihak pada rakyat serta lingkungan,” pungkas Yoppy, menyuarakan aspirasi masyarakat yang mendambakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor:

Pinjaman Online Naik di Awal Tahun. Apa Arti dan Risikonya?

Ringkasan

Kontroversi penambangan nikel PT GAG Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, memanas setelah Menteri ESDM menghentikan operasinya sementara pada 5 Juni 2025 menyusul laporan masyarakat. Namun, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyatakan hasil investigasi menunjukkan bahwa kegiatan PT GAG Nikel tidak melanggar ketentuan dan tidak menyebabkan sedimentasi. Perusahaan ini merupakan satu-satunya penambang nikel aktif di Raja Ampat, mengantongi izin seluas 13.136 hektare.

Di sisi lain, laporan masyarakat dan organisasi seperti Greenpeace Indonesia menyoroti dampak lingkungan serius, termasuk kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan limpasan tanah ke laut. Greenpeace juga menemukan eksploitasi nikel di pulau lain dan menekankan pulau-pulau kecil seharusnya dilindungi dari aktivitas tambang sesuai undang-undang. Aliansi Jaga Alam Raja Ampat menolak ekspansi tambang, memperingatkan potensi kerusakan lingkungan yang parah dan menyatakan operasi tambang melanggar berbagai regulasi yang berlaku.

Baca Juga

Bagikan:

Tags